SUARA Rakyat, Suara Tuhan. Kata-kata bijak ini tepat menggambarkan sesungguhnya suara rakyat sangat absolut pada tataran suksesi demokrasi. Absolut karena memang suara rakyat sangat menentukan seseorang bisa menikmati jabatan, mulai dari presiden, wakil presiden, DPR RI, DPRD dan DPP, berkat suara rakyat.
Begitulah dahsyatnya nilai suara rakyat. Jika menggunakan istilah ekonomi, suara rakyat berarti mahal atau memiliki nilai jual tinggi. Penting dan mahalnya suara rakyat, membuat setiap orang yang berhajat memimpin di negara ini, dipastikan punya kepentingan besar pada saura rakyat tersebut.
Pertanyaannya kemudian, apakah suara rakyat itu –yang secara teori mahal dan penting- memiliki arti dan peran sama pada prakteknya? Sebab yang sering terdengar, rakyat mengaku tidak mendapat perhatian dari pemerintah dan legislatif seperti perhatian pada saat suaranya dibutuhkan ketika suksesi demokrasi begulir.
***
Berkaca pada pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu persiden dan wakil presiden beberapa waktu lalu. Tampak nyata para calon anggota legislatif dan calon presiden dan wakil presiden, terasa begitu dekat dan akrab dengan rakyat. Mereka sering menyapa dan mendatangi rakyat, hingga memberikan perhatian yang mungkin saja lebih besar daripada perhatian kepada keluarga mereka.
Bahkan demi mendapatkan tempat dihati rakyat, para calon legislator dan calon presiden dan wakil presiden tidak ragu untuk memenuhi permintaan masyarakat. Permintaan dengan latar belakang demi kepentingan keagamaan dan social, bahkan tidak sedikit bersifat kepentingan pribadi.
Tidak tanggung-tanggung, jumlah bantuan yang berikan kisaran puluhan hingga ratusan juta rupiah. Baik dalam bentuk barang, pembangunan sampai uang tunai. Maka tidak heran, dana kampanye partai politik untuk legislatif dan pemilihan presiden,angkanya ratusan hingga milyaran rupiah bahkan ada yang mencapai angka triliun rupiah. Selain itu, mereka juga cepat merespon setiap permasalahan dan keluhan yang disampaikan rakyat.
Kondisi itu terjadi sebelum rakyat memberikan hak suaranya di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Pasca pemberian hak suara dan sudah jelas siapa yang terpilih menjadi wakil rakyat, presiden dan wakil presiden. Perhatian terhadap rakyat berubah 180 derajat, bahkan lebih ekstrim rakyat kini hanya tinggal kenangan.
Suara rakyat yang sebelumnya begitu mahal sehingga diuber-uber, kini hanya suara kosong yang tidak berharga. Pemilik suara kini hanya menjadi rakyat kelas rendahan yang tak begitu penting keberadaannya. Sebab mereka yang terpilih kini memiliki status sosial yang begitu tinggi, sehingga merasa tidak pantas akrab dengan rakyat kelas rendahan.
Ada guyonan yang sering terdengar menyebutkan, wakil rakyat, presiden dan wakil presiden, serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dulu siap makan nasi bungkus, duduk di warung kopi dan berpanas-panasan bersama rakyat. Kini mereka tinggal di istana megah, kongko-kongko di tempat berkelas dan makan makanan dengan menu dunia.
Dulu mereka sering mendatangi pengajian, bersilaturrahmi dengan siapa saja, kaca mobilpun terus terbuka demi menyapa rakyat. Kini, mereka mendatangi tempat plesiran di berbagai belahan dunia, enggan bersilaturrahmi dengan rakyat dan kaca mobilpun terus tertutup dengan alasan cuaca panas.
Fakta ini seakan mengubur harga suara rakyat sekaligus mengubur harapan yang dulu selalu dijanjikan kepada rakyat. Menyikapi kondisi ini, akankah rakyat mengulangi kesalahan yang sama secara berulang-ulang. Kalau itu terjadi, berarti rakyat lebih ‘bodoh’ dari keledai yang tidak mau jatuh di lubang yang sama.
***
Di tahun 2010 nanti, suara rakyat akan kembali diuber-uber. Rakyat akan kembali dielus-elus, dibujuk dirayu dan dimanjakan para pemburu suara rakyat. Sebab, pesta demokrasi berskala daerah akan kembali dilangsung. Di Sumatera Utara pada medio April hingga Juni 2010 paling tidak ada 14 kabupaten kota yang akan menggelar Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada).
Tentunya, pada pelaksanaan Pemilukada nanti, sesuai peraturan perundang-undanga suara rakyat tetap menentukan. Menentukan siapa yang berhak menyandang jabatan, bupati, wakil bupati, walikota dan wakil walikota.
Saat itu datang, rakyatlah yang kemudian menentukan apakah suaranya akan dihargai dengan murah, sedang atau bahkan mahal. Murah bisa digambarkan suara rakyat hanya akan dibanyar dengan 1 kg beras, gula plus 3 bungkus mie instant atau kalo dirupiahkan berada di kisaran Rp20 ribu sampai Rp50 ribu. Dengan harga ini, rakyat tidak lagi memiliki hak mutlak atas suara politiknya, karena telah diganti dengan harga beberapa item kebutuhan.
Lalu kalau harga sedang, gambarannya rakyat menggadaikan suara politiknya dengan sedikit pemberian. Seperti sumbangan untuk pengajian, masjid, gereja, wihara, kelenteng atau kebutuhan sosial kemasyarakat dan keagamaan. Harga ini sedikit lebih mahal karena dibumbui dengan janji-janji politik dari pemburu suara rakyat. Dititik ini, rakyat juga tidak obsolut untuk menyalurkan suaranya sesuai pilihan hati nuraninya.
Kemudian dihargai mahal, bisa diibarat bahwa rakyatlah yang punya hak mutlak atas suara politiknya. Rakyat tidak menggadaikan suaranya dengan imbalan materi dan barang serta janji politik. Tapi rakyat yang menentukan dia akan menggunakan atau tidak menggunakan hak sauranya sesuai pilihan hati dan pikirannya. Meskipun orang bijak bilang, kalau sudah dipilih tidak teringat itu berarti keterlaluan.
Inilah gambaran sederhana, mahal tidak suara rakyat. Intinya, penentuan harga suara rakyat kembali pada rakyat itu sendiri. Apakah rakyat mau suara politiknya di hargai murah, sedang atau mahal. Atau apakah rakyat akan terus mengulangi kisah membuat kesalahan yang sama secara berulang-ulang. Wallahu a’lam bissawaf. (Penulis adalah redaktur Politik KPK Pos dan Aktivis Partai Persatuan Pembangunan Kota Medan).