Catatan : Mursal Harahap. S.Ag “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”. (QS : al-A’raf :179) Ayat ini memberikan penjelasan bahwa manusia yang tidak menggunakan hati, mata dan terlinganya untuk mengikuti perintah Allah, disebutkan kal an’am (seperti binatang ternak). Kaitannya dalam konteks kepemimpinan adalah setiap manusia merupakan pemimpin, baik untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat maupun Negara. Atas kepemimpinan itu, setiap orang akan dimintai pertanggungjawabannya. Sejatinya, seseorang diangkat, dipilih atau ditunjuk menjadi pemimpin, karena dinilai mampu mengayomi dan mengakomodir seluruh kepentingan orang-orang yang dipimpinnya. Mampu bertindak adil, amanah dan memiliki rasa simpati dan empati atas kondisi orang-orang yang dipimpinnya. Kalau kemudian kita mendekatkan indikator pemimpin di atas dengan fakta kepemimpinan di Indonesia, tentu dalam hati nurani kita bersama telah menemukan jawabannya. Apakah para pemimpin di negeri ini sudah mengayomi, mau mendengar, memperjuangkan kepentingan dan aspirasi masyarakat. Dan apakah hati para pemimpin di negeri ini terketuk bila melihat penderitaan dan kesengsaraan masyarakat yang dipimpinnya? *** Dalam ajaran Islam, Allah SWT menciptakan manusia dibekali, hati dan akal sehingga menjadi ciptaan yang sempurna. Tubuh manusia juga dilengkapi mata, telinga, tangan dan kaki. Tentunya, apa-apa yang telah diberikan itu, sesuai hakikat penciptaan manusia dan jin adalah untuk mengabdi pada Allah SWT. Mulai dari hati, akan, mata, telinga, tangan dan kaki. Jika, fasilitas ciptaan itu tidak dipergunakan sesuai tuntunan dan kehendak Allah, maka manusia dapat disamakan dengan hewan ternak, bahkan lebih sesat. Sekarang kita seret pendekatan itu dengan realitas pemimpin di Indonesia. Pemimpin sebagai manusia biasa yang diberi amanah untuk memimpin memiliki dua tanggungjawab, yakni kepada Sang Pencita Tuhan Yang Maha Kuasa dan kepada manusia lain yang dipimpinnya. Jika kemudian seorang pemimpin, tidak menggunakan hati, akal, mata telinga, tangan dan kakinya untuk mengurusi orang-orang yang dipimpinnya, maka logikanya, pemimpin tersebut dapat disamakan seperti binatang ternak (Kal An’am). Sama posisinya ketika seluruh fasilitas ciptaan tidak dipergunakannya untuk mengabdi pada Tuhan. *** Di Indonesia secara formal, ada banyak pemimpin. Mulai pemimpin pemerintahan, pemimpin di legislatif, yudikatif dan tersebar mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Ada pemimpin kelompok masyarakat, komunitas, organisasi dan pemimpin kepemudaan dan lainnya. Jika fokus pada pemimpin negara dan eksekutif, di nusantara ini hampir setiap hari ada saja yang melakukan aksi protes atas berbagai kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada masyarakat. Bahkan belakangan, aksi protes para pencari keadilan banyak bermunculan, seperti Pong Hardjatmo naik ke atas Gedung DPR RI Jumat 30 Juli 2010 lalu dan menuliskan tiga kata “Adil, Jujur, Tegas”. Aksi jalan kaki dari Malang hingga Jakarta yang dilakukan Indra Azwan untuk menuntuk keadilan atas meninggalnya anaknya, ada pejuang PNS yang belum menerima gaji ke-13 dari Ogan Hilir, Sumatera Selatan. Ada aksi tanam diri oleh masyarakat di Jakarta, karena tempat tinggal akan digusur, aksi diam dua janda pahlawan di depan istana karena dituduh menyerobot rumah. Yang paling fenomenal aksi keadilan buat Prita Mulyasari yang ditunjukkan dengan mengumpulkan koin, dan masih banyak aksi lainnya. Tidak hentinya aksi protes yang dilakukan masyarakat sebagai orang yang dipimpin, ternyata tidak juga mampu menggugah hati dan pikiran para pemimpin negeri ini. Mata dan telinga mereka seakan tertutup dan tidak mau melihat realita kehidupan masyarakat. Tangan mereka seringkali menuliskan kebijakan yang berseberangan dengan hajat hidup masyarakat. Sementara kaki mereka sering berlari menjauh dari kemiskinan dan keterpurukan masyarakat. Padahal sesungguhnya amanah sebagai pemimpin yang mereka nikmati buah dari partisifasi dan suara masyarakat. Mereka juga lupa, tidak ada gunanya menjadi Presiden dan DPR jika tidak ada rakyat. Termasuk jabatan apapun berkaitan dengan kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Padahal hakikatnya keberhasilan seorang pemimpin sangat tergantung dari kemampuannya untuk membangun orang-orang di sekitarnya. Karena sebenarnya harus melayani bukan dilayani. Pemimpin yang melayani tentu memiliki kasih dan perhatian kepada mereka yang dipimpinnya. Kasih itu mewujud dalam bentuk kepedulian akan kebutuhan, kepentingan, impian dan harapan dari mereka yang dipimpinnya. Kemudian seorang pemimpin yang memiliki hati dan melayani adalah akuntabilitas (accountable). Artinya penuh tanggung jawab dan dapat diandalkan. Seluruh perkataan, pikiran dan tindakannya dapat dipertanggung jawabkan kepada publik. Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang mau mendengar. Mau mendengar setiap kebutuhan, impian dan harapan dari mereka yang dipimpinnya. Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang dapat mengendalikan ego dan kepentingan pribadinya melebihi kepentingan publik atau mereka yang dipimpinnya. Kembali pada perumpaan yang disebutkan dalam al-Qur’an surah al-A’raf 179 di atas, jika diberikan penilaian, apakah para pemimpin telah menggunakan hati, pikiran, mata, telinga, tangan dan kaki mereka untuk membangun dan memajukan orang-orang yang dipimpinnya. Jika tidak, apakah kemudian mereka dapat disebutkan seperti perumpaan dalam ayat al-Qur’an surah al-A’raf 179, “Kal An’am”. Wallaho A’lam Bisawaf.
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan sampaikan komentar anda di sini