MEDAN

Nasehat...

.“(Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang dimudahkan terbang diangkasa bebas? Tidak ada yang dapat menahannya selain daripada Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang beriman. (An-Nahl:79") .“(menang dengan mengalah, itulah filsafat air dalam mengarungi kehidupan") .(Guru yang paling besar adalah pengalaman yang kita lewati dan rasakan sendiri) .(HIDUP INI MUDAH, BERSYUKURLAH AGAR LEBIH DIMUDAHKAN ALLAH SWT)

Bismillahirrahmanirrahim

"Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang dimudahkan terbang diangkasa bebas? Tidak ada yang dapat menahannya selain daripada Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang beriman. (An-Nahl:79)

Senin, 30 November 2009

H A Hosen Hutagalung : Hentikan Diskriminasi Pada Penyandang Cacat

Diskriminasi terhadap masyarakat penyandang cacat ternyata tidak saja dilakukan perusahaan, tapi juga pemerintah. Fakta ini tentu membuat banyak kalangan prihatin, termasuk anggota DPRD Sumut H Ahmad Hosen Hutagalung. Padahal PP No 43 tahun 1998 tentang upaya peningkatakan kesejahteraan sosial penyandang cacat dan UU No 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat telah tegas mengatur penghilangan diskriminasi tersebut. Penjelasan itu disampaikan H Ahmad Hosen Hutagalung yang juga Sekretaris FPPP DPRD Sumut kepada wartawan di Medan. Dijelaskan Hosen, bukti masih adanya diskriminasi terhadap warga penyandang cacat bisa dilihat dari penerimaan CPNS baru-baru ini. Bahwa para penyandang cacat awalnya hampir gagal ikut seleksi CPNS. Tapi meskipun diterima berkas lamarannya dan boleh mengikuti ujian seleksi, toh tetap saja upaya tidak memberi kesempatan yang sama pada para penyandang cacat juga terjadi. Pasalnya, dalam pelaksanaan ujian seleksi CPNS tersebut, kata Hosen, pihak pemerintah tidak menyediakan alat batu untuk kalangan penyandang cacat. “Inikan sama saja artinya pemerintah tidak memberikan hak yang sama kepada para penyandang cacat untuk bersaing secara fair dalam penerimaan CPNS,”tegas Hosen. Karena itu, kata Hosen, baik pemerintah dan perusahaan harus menerapkan amanah PP No 4 tahun 1998 dan UU No 4 tahun 2007. Termasuk dalam hal pengalokasian anggaran harus diperhatikan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten kota. “Harus dimengerti bahwa setiap warga Negara memiliki hak yang sama untuk mendapat pekerjaan, pendidikan dan penghidupan yang layak. Jika masih ada diskriminasi, itu sama artinya Negara melakukan pelanggaran hak rakyatnya,”ungkap Hosen. Hosen menjelaskan sanksi pidana bagi setiap tindak diskriminasi yang dilakukan terhadap para penyandang cacat telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, seperti menolak mempekerjakan para penyandang cacat. Yakni sanksi pidana enam bulan penjara dan atau denda setinggi-tingginya Rp200 juta. “Inilah amanah PP No 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat sebagai Implementasi dari UU No.4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang harus dilaksanakan,”ucapnya. Mengingat belum terlaksananya PP no 4 tahun 1998 dan UU no 4 tahun 2007, Hosen mengaku akan membicarakan persoalan ini ditingkat fraksi PPP. Artinya jika memungkinkan FPPP akan berupaya mengusulkan agar dibuatkan Peraturan Daerah (Perda) tentang penghapusan diskriminasi kepada warga penyandang cacat. Memang lanjut Hosen, UU dan PP sudah ada. Jadi kalau Perda itu nantinya terealisasi diharapkan akan menguatkan peraturan yang di atasnya. Sehingga ada dorongan maksimal dan seluruh kompenen masyarakat dalam upaya penghilangan tindak diskriminasi. “Upaya ini bagian dari upaya PPP dalam rangka membantu warga penyandang cacat agar mendapat persamaan hak dalam seluruh sisi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,”jelasnya. Ketika ditanya, apakah DPRD Sumut akan proaktif menyikapi persoalan diskriminasi terhadap penyandang cacat, terutama terkait penerimaan CPNS. Hosen mengatakan secara lembaga akan dibicarakan lebih lanjut mungkin lewat komisi yang membidang persoalan tersebut. Yang penting kata Hosen, kita tidak dapat menerima tindakan diskriminatif terhadap warga penyandang cacat. Apakan tindakan itu dilakukan oleh pemerintah, perusahaan atau siapapun. Karena setiap warga negara memiliki hak yang sama. Dari sisi agama Islam seluruh makhluk Tuhan itu sama, yang membedakannya hanya ketaqwaan dan ibadahnya

Warga Ngadu Ke FPPP DPRD Sergai

Tak tahan mencium bau busuk dampak dari percemaran lingkungan yang diakibatkan aliran limbah Pabrik Kelapa Sawit (PKS) Kebun Rambutan. Warga disepanjang jalan besar Dusun III Kampung Banten, Dusun VII Pasar 3, Dsn XIII Sei Pinang Desa Paya Lombang, Dusun II dan Dusun IV, Desa Kuta Baru mengadu ke Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) Serdang Bedagai (Sergai). Demikian disampaikan Wakil Ketua FPPP DPRD Sergai Sugiatik S.Aga usai menerima masyarakat yang menyampaikan aspirasi terkait pencemaran lingkungan PKS Kebun Rambutan, belum lama ini. Menurut penuturan warga, kata Sugiatik, aliran limbah PKS Rambutan dibuang melintasi persawahan dan daerah tempat tinggal warga di desa Kuta Baru dan Paya Lombang KecTebing Tinggi Kab Sergai. Pencemaran lingkungan itu dibuktikan dengan adanya bau menyengat dan air sumur yang berminyak. Kindisi tentu sangat dikhawatikan mengamcam kesehatan warga. Apalagi saat banjir, limbah akan meluap. Karena itu lanjut Sugiatik, masyarakat meminta dewan dapat menyelesaikan permasalahan ini. Artinya limbah pengolahan sawit tersebut tidak lagi dibuang melintasi pemukiman dan persawahan warga. “Kami meminta dan berharap DPRD Sergai, khususnya FPPP dapat menyelesaikan kasus pencemaran lingkungan ini. Ini penting guna mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan,” terang Sugiatik menirukan permohonan warga. Setelah menerima aspirasi warga, Sugiatik kini juga anggota Komisi B DPRD Sergai yang menangani bidang perkebunan, langsung melakukan peninjauan bersama beberapa warga. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa memang terlihat pembuangan limbah ke parit melintasi pemukiman dan persawahan warga, menimbulkan bau menyengat dan air berubah warna kehitam-hitaman. Menyikapi hal itu, Sugiatik menegaskan ia bersama FPPP DPRD Sergai akan memperjuangkan aspirasi warga. Apalagi Sugiatik terpilih dari daerah pemilihan (Dapil) 4 meliputi desa Kuta Baru dan Paya Lombang. Selain itu, Sugiatik juga merupakan putra daerah yang lahir, besar dan tinggal di Desa Paya Lombang. “Secara pribadi dan partai, saya akan memperjuangkan aspirasi mereka dan dalam waktu dekat DPRD akan memanggil pihak-pihak terkait melalui komisi B,” ujar Sugiatik

KPU Dinilai Tak Pahami Peraturan

Komisi Pemilihan Umum (KPUD) Kota Medan, sebenarnya berlum berhak melakukan tahapan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Kota Medan. Baik pembentukan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan penyampaikan Daftar Pemilihan Tetap (DPT). Kalaupun KPUD ngotot melaksanakan tahapan pilkada, prose situ menabrak prosedur pelaksanaan tahapan pilkada sebagaimana telah diatur dalam undang-undang. Dan itu membuktikan KPUD Kota Medan sebenarnya tidak memahami aturan main yang tertuang dalam peraturan penundang-undangan yang berlaku. Peraturan perundang-undangan dimaksud diantaranya, PP RI No 6 tahun 2006 tentang pemilihan, pengesahan dan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah. UU No 32 tahun 2004 tentang penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepada daerah yang telah diubah dengan lahirnya UU No 22 tahun 2008 dan PP No 4 tahun 2008 perubahan atas UU 22 tahun 2008. “Jika mengikuti aturan dalam berbagai peraturan tersebut, sebenarnya KPUD Kota Medan, belum berhak melaksanakan tahapan pilkada. Atau lebih tepatnya belum waktunya melaksanakan tahapan pilkada,”kata anggota Komisi A DPRD Kota Medan Abdul Rani SH kepada KPK Pos, belum lama ini saat ditemui di gedung dewan. Dijelaskan Abdul Rani, dalam PP No 6 Tahun 2005 pada Bab II pasal 2 ditegaskan, bahwa persiapan Pilkada mempunyai tahapan. Di antaranya masa persiapan pemilihan. Pertama adanya pemberitahuan tentang berakhirnya masa periodesasi jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh DPRD kepada kepala daerah. Lalu DPRD memberitahukan kepada KPUD tentang berakhirnya masa periodesasi kepala daerah dan wakil kepala daerah. Atas pemberitahuan DPRD itu, maka dilakukan perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pilkada. Selanjutnya KPUD melakukan pembentukan panitia pengawas, PPK, PPS dan KPPS dan dilanjutkan dengan pendaftaran pemantau pemilihan. Setelah proses ini berjalan, pada ayat 2 dilakukan penjaringan atau pembentukan panitia pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf d, dilakukan tahapan pemilihan panitia pengawas pilkada. Waktunya paling lambat 21 hari setelah disampaikannya pemberitahuan dari DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a, dan huruf b. Kemudian pada ayat 3, DPRD harus sudah membuat keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 , selambat-lambatnya 3 hari sejak diputuskan harus sudah disampaikan kepda KPUD dan kepala daerah. Lalu pada pasal 3 ayat 1 disebutkan berdasarkan pemberitahuan DPRD, sebagaimana dimaksud pada pasal 2 ayat 1 huruf a dan b, kepala daerah menyampaikan laporan penyelenggaraan pemerintahan selambat-lambatnya 30 hari setelah pemberitahun DPRD. Berdasarkan pemberitahuan DPRD, KPUD menetapkan perencanaan penyelenggaraan meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pilkada, pembentukan panitia pengawas, PPK, PPS dan KPPS dan pendaftaran pemantau pemilihan. Tahapan-tahapan inilah yang dinilai Abdul Rani tidak diikuti KPUD Medan. Apalagi, lanjut Abdul Rani terkait perekrutan anggota Panwas Pilkada Kota Medan. Untuk melaksanakan proses ini, sesungguhnya KPUD Medan tidak berhak melakukannya. “Bagaimana mungkin penyelenggaran pilkada merekrut dan menguji orang-orang yang akan menduduki pengawas kinerjanya,”kata Abdul Rani. Logika apapun yang digunakan KPUD Medan, ini sungguh tidak masuk akal. Atau memang KPUD Kota Medan ingin menempatkan ‘orang-orangnya’ menjadi panwas pilkada, sehingga pengawasan pelaksanaan pilkada nantinya tidak seperti diharapkan masyarakat. Sejalan dengan itu, DPRD Medan menilai proses penjaringan panwas pilkada cacat hukum, karena memang KPUD Medan tidak berhak melakukannya. Karena itu proses penjaringan Panwas yang dilakukan KPUD Medan harus dihentikan atau akan menjadi sia-sia nantinya. Seharusnya, kata Abdul Rani, jika KPUD Medan ingin melaksanakan tahapan pilkada, termasuk penjaringan anggota panwas harus mengikuti prosedur dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. “Jangan karena inters lembaga, mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan diabaikan.

Selasa, 17 November 2009

FPPP Teken Angket Century

Fraksi PPP DPR memutuskan tidak dulu mendukung Hak Angket Bank Century yang dimotori FPDIP. Jika audit BPK belum rampung akhir November, PPP menjamin akan bergabung dalam kekuatan itu. "Fraksi PPP telah memberikan deadline akhir November ini. Kalau tidak dipenuhi oleh BPK, tak menutup kemungkinan PPP bergabung dalam Hak Angket Bank Century," kata Ketua PPP Hasrul Azwar di Jakarta. Sikap FPPP ini, menurut Hasrul, tidak disponsori siapa pun alias tanpa tekanan dari kekuatan politik mana pun. Namun, jika BPK masih mengulur waktu dalam mengaudit Bank Century, padahal sudah ada dugaan sindikasi pelanggaran pidana, maka hal itu patut dipertanyakan. " Ada apa dengan BPK? Ini kan artinya ada sesuatu, dan membuat publik semakin tak percaya pada lembaga pemerintah," ungkapnya. FPPP, lanjutnya, ingin menghormati aturan prosedural. Juga patuh pada amanat Komisi IX DPR periode lalu yang memutuskan menunggu hasil audit BPK. "Kita ingin menghormati prosedural. Amanat Komisi IX harus dihormati dong. Kita perlu punya kesabaran politik. Bukan kami tidak setuju terhadap Hak Angket Bank Century," tandasnya.

MENEMUKAN JEJAK PAHLAWAN….

Merdeka Atau Mati..! slogan perjuangan ini muncul dari besarnya semangat bangsa ini untuk lepas dari belenggu kolonialisme. Slogan ini juga pada akhirnya menyatukan kekuatan seluruh bangsa Indonesia agar tetap eksis mempertahankan kemerdekaan. Sebab kemerdekaan bukan hadiah, tapi perjuangan panjang penuh pengorbanan. Seiring perjalanan sejarah, bangsa ini telah mengecap kemerdekaan selama 64 tahun. Bangsa ini juga telah tumbuh dan berkembangan seiring perkembangan masyarakat dunia. Berbagai prestasi juga telah ditorehkan, secara regional maupun internasional. Itu semua terjadi, tidak lepas dari jasa-jasa para pahlawan. Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak lupa terhadap jasa-jasa para pahlawannya. Seperti bulan Oktober, pada setiap tahun dilangsungkan peringatan hari pahlawan yang jatuh pada setiap tanggal 10 Oktober. Meski harus diakui, belakangan ini peringatan hari pahlawan, cenderung hanya seremonial belaka. Sebab, semangat para pahlawan yang kini sudah terkubur tidak terimplementasi dalam pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara. Ironisnya lagi, seringkali dijumpai, para pahlawan yang masih hidup dan menjadi saksi hidup sejarah perjuangan para pahlawan, diabaikan. Mereka para pahlawan dalam setiap upacara hanya ‘dimanfaatkan’ sebagai pelengkap barisan. Kondisi ini menjadi bukti nyata, bangsa ini telah kehilangan jejak para pahlawan. Kehilangan jejak, karena semangat dan niat tulus para pahlawan memerdekaan bangsa ini hilang pada generasi berikutnya. Dulu para pahlawan berjungan sekuat tenaga dan rela mengorbankan apa saja demi kemerdekaan Indonesia. Mereka tidak pernah berpikir mau jadi apa setelah bangsa ini merdeka. Tidak pernah berpikir mau kerja apa, berapa penghasilan mereka atau jabatan apa yang akan mereka dapatkan. Semangat inilah yang kemudian tidak dimiliki generasi penerus bangsa ini, dan itupula yang membuat bangsa ini kehilangan jejak para pahlawannya. Para pahlawan yang telah gugur, kini mungkin menangis melihat kondisi bangsa ini. Bangsa yang kini memiliki deretan panjang pemasalahan. Bangsa yang kini mungkin sudah kehilangan arah dan tujuan, bangsa yang kini telah kehilangan jejak. Seperti layaknya seorang pemburu yang sudah kehilangan jejak buruannya. *** Jejak para pahlawan sebenarnya bisa lahirkan kembali jika seluruh anak bangsa mau urung rembuk guna meluruskan dan mengembalikan tujuan kemerdekaan yang telah diperjuangan para pahlawan. Tujuan itu telah nyata dan tegas diamanahkan dalam pembukaan UUD 1945 dan Pancasila. Pada pembukaan UUD 1945, disebutkan Pemerintahan Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Terdapat beberapa poin penting yang diamanahkan sebagai menjadi tugas dan tanggungjawab pemerintahan. Yakni melindungi Negara dari segala bentuk ancaman dan gangguan, melindungi seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Pancasila juga telah mengamanahkan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara secara ril dan terpahami. Mulai dari Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang berkeadilan dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin hikmah kebijaksanaan permusyawaratan dan perwakilan, dan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, secara sederhana dapat dipahami bahwa bangsa ini menghormati seluruh kepercayaan rakyat. Lalu negara memiliki tanggungjawab penuh terhadap kelangsungan kehidupan beragama secara damai dan adil. Namun faktanya, seringkali negara melupakan kewajibannya. Bahkan berbagai kasus penistaan terhadap agama yang terjadi di negeri ini diakibatkan lemahnya perhatian. Setelah muncul gejolak di tengah-tengah masyarakat, baru negara turun tangan. Lahirnya nabi-nabi paslu dan ajaran sesaat menjadi bukti nyata betapa negara ini tidak memiliki semangat perjuangan memberikan jaminan keharmonisan kehidupan kerukunan beragama. Amanah sila kedua, kondisinya lebih parah lagi. Mungkin para pemimpin bangsa ini sudah kehilangan rasa kemanusiaan. Sehingga mereka-mereka para pemimpin tidak pernah merasa malu -atau mungkin karena urat malunya sudah putus- melihat rakyatnya. Kehidupan yang serba mewah dan berkecukupan membuat mereka mabuk. Mereka tidak pernah berpikir seperti apa nasib sebagian besar rakyat Indonesia yang hidup susah, melarat dan penuh penderitaan. Lalu dimana letak keadilan pada perspekti kemenusiaan. Kemudian jika dikaitkan antara kemanusiaan dan adab, tidak dapat dipungkiri semuanya kini sudah hilang. Adab dalam bahasa agama Islam berarti etika atau moral. Dan salah sati faktor penyebab kondisi bangsa seperti ini, karena pemimpinnya sudah membuang ‘etika dan moralnya’ yang pada akhirnya menghilangkan kepercayaan rakyat. Jika sudah demikian, pantas dan wajarlah, rasa kemanusiaan itu juga telah hilang. Berikutnya, persatuan Indonesia. Ini juga telah tercemari bahkan hampir saja menghancurkan Indonesia. Kita masih ingat gerakan rakyat aceh yang meminta berpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tidak hanya Aceh, beberapa daerah juga pernah terdengar meminta berpisah dari NKRI. Ini menjadi bukti nyata bahwa persatuan juga telah mengalami degradasi. Degradasi persatuan tentu tidak muncul begitu saja. Sebab, kemerdekaan bangsa ini merupakan buah dari persatuan seluruh rakyat Indonesia mengusir penjajah. Artinya kalau mau diurut, rasa oersatuan itu mulai hilang karena hilangnya jaminan pemerintah terhadap hak-hak rakyatnya. Baik hak konstitusi, politik, ekonomi, agama, sosial dan budaya.’ Ditambah lagi, hilangnya rasa kemanusiaan, matinya keadilan serta terbuangnya adab, etika dan moral. Diperkuat lagi dengan tidak terlasananya secara baik sila keempat yakni kerakyataan yang dipimpin hikmah kebijaksanaan permusyawaratan dan perwakilan. Kalua disederhanakan pemaknaan terhadap sila keempat ini adalah terkait dengan legislatif sebagai wakil rakyat yang bekerja bermusyawarah guna kepentingan rakyat. Seperti kita ketahui, tidak sedikit dari anggota dewan yang bersikap seolah-olah bukan wakil rakyat, tapi wakil partai politik. Padahal partai politik hanya sebagai wadah yang ditentukan konstitusi untuk mencalonkan kadernya untuk menjadi wakil rakyat. Harusnya pola pikir terbangun, ketika dipilih rakyat sebagai wakil keberadaannya harus mampu bermanfaat untuk rakyat. Karena sesungguhnya rakyatlah yang memberikan mandat bukan partai politik. Selanjutnya, pada sila kelimat keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Amanah sila kelima ini lebih mengarah pada penegakan hukum. Sebagai negara hukum, bangsa inii telah menjadi hukuam sebagai panglima. Konsep ini sebenarnya sangat mulia dan yang terbaik, namun pada prakteknya seringkali hukum hanya menjadi alat. Alat bagi penguasa dan pengusaha. Contoh kasus yang terdekat adalah kisruh dugaan kriminalisasi terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam kasus ini dapat dilihat proses hukum sudah dicampur aduk dengan proses lainnya. Belum penggalangan power people berkembangn begitu cepat diiringi perang opini. Jika kasus dugaan kriminalisasi KPK dibiarkan diselesaikan sesuai proses hukum, maka tidak perlu sejumlah tokoh ikut nimbrung memberikan pendapat dan komentar. Karena komentar apapun yang disampaikan tidak memberikan jaminan kasus tersebut akan tertuntaskan dengan baik dan berkeadilan. Presidenpun harusnya tidak perlu membentuk tim untuk melakukan klarifikasi dan fervikasi, toh tim yang dibentuk berdasarkan Keppres itu bukan lembaga peradilan yang mampu menyelesaikan kasus yang terjadi. Malah yang muncul kepemukaan tudingan adanya interfensi terhadap proses hukum, dan masuknya kekuatan politik dalam persoalan itu. Kondisi seperti ini tentunya lagi-lagi tidak menyelesaikan masalah, justru mungkin sebaliknya semakin memperumit dan menambah masalah. Lalu siapa yang akan memberikan keadilan tersebut. Dari sisi keadilan sosial, bangsa ini juga belum mampu merealisasikannya. Bahkan gap sosial terus bertambah curam, seiring perjalanan sejarah bangsa ini. Istilah yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin, rasa tepat menggambarkan kondisi masyarakat bangsa ini. Banyak oknum yang gajinya berasal dari uang rakyat dan harusnya melayani rakyat, malah minta dilayani oleh rakyat. Mereka-mereka yang hidupnya sudah dijamin negara, ternyata malah berbuat yang merugikan negara. Atau mereka yang mendapat mandat dari rkayat, kemudian mengibuli rakyat. Lalu keadilan sosial seperti apa yang didapatkan rakyat. *** Kondisi di atas menunjukkan sesungguhnya para pemimpin dan elit bangsa ini telah kehilangan jejak semangat para pahlawan. Semangat yang lahir dari hati sanubari memerdekaan bangsa dan negara dari kekejaman kolonial, penindasan dan keterpurukan. Semangat yang tidak akan hilang walau diterpa panas dan hujan serta putaran waktu yang terus berjalan. Sudah saat seluruh pemimpin dan elit bangsa ini serta rakyat Indonesia melakukan perenungan dalam rangka evaluasi. Melakukan rekonsiliasi guna menata ulang semangat mencerdaskan dan memakmurkan seluruh rakyat Indonesia. Menata ulang regulasi yang menjamin keberlangsungan kehidupan beragama secara damai dan harmonis. Manata ulang rasa kemanusiaan yang berkeadilan, sehingga terlahir kembali adab yang terbukti dengan penerapan etika dan moral. Menata ulang persatuan dan kesatuan yang berserakan dengan mengedepankan hukum sebagai panglima tertinggi. Menata ulang makna akan keberadaan kehidupan berpolitikn dalam bingkai kerakyatan yang dipimpin hikmah kebijaksanaan permusyawaratan, menata ulang keadilan sosial. Menata ulang tujuan dan target dalam mengisi kemerdekaan sebagai bagian meneruskan jejak semangat para pahlawan. Bila ini dilakukan, maka jejak semangat para pahlawan yang meski kini mereka tinggal tulang belulang yang berserakan, lahir kembali. Lahir pada setiap diri pemimpin dan elit bangsa dan lahir disetiap jiwa dan raga rakyat Indonesia. Dengan demikian muncul harapan baru Indonesia akan tetap maju dan para pahlawan tersenyum bangga melihat para penerusnya bangkit mewujudkan cita-cita mereka, Indonesia yang cerdas, aman dan makmur. Amin. (Penulis adalah Aktivis Forum Indonesia Muda (FIM), Pengurus DPC PPP Kota Medan).