MEDAN

Nasehat...

.“(Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang dimudahkan terbang diangkasa bebas? Tidak ada yang dapat menahannya selain daripada Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang beriman. (An-Nahl:79") .“(menang dengan mengalah, itulah filsafat air dalam mengarungi kehidupan") .(Guru yang paling besar adalah pengalaman yang kita lewati dan rasakan sendiri) .(HIDUP INI MUDAH, BERSYUKURLAH AGAR LEBIH DIMUDAHKAN ALLAH SWT)

Bismillahirrahmanirrahim

"Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang dimudahkan terbang diangkasa bebas? Tidak ada yang dapat menahannya selain daripada Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang beriman. (An-Nahl:79)

Senin, 20 April 2009

Wanda Gak Bisa Tidur

Oneng di Atas Taufik Kiemas, Wanda Gak Bisa Tidur Kalangan artis yang menjadi calon legislator berbagai partai berharap-harap cemas atas perolehan suara dalam pemilihan 9 April lalu. Sebagian mengaku optimistis, ada pula yang pesimistis. Aktris Rieke Diah Pitaloka, misalnya. Ia mengaku merasa kesulitan mendapatkan suara sebanyak jumlah yang diperlukannya untuk duduk di DPR. "Saya butuh 250 ribu suara. Mungkin yang saya dapat tidak sebanyak itu, susah ngumpulin segitu," kata Rieke saat dihubungi sore ini. Rieke menyebut, cara kampanyenya yang melawan arus menjadi penyebab kesulitan itu. Pemeran Oneng dalam serial sinetro Bajaj Bajuri ini merupakan calon legislator dari PDI Perjuangan untuk daerah pemilihan Jawa Barat dengan nomor urut 2. Daerah pemilihannya meliputi 46 kecamatan dan 470 desa. "Tapi saya juga unggul daripada calon lain di beberapa tempat, misalnya di daerah Cerunteung," ujar Rieke yang masih memperkirakan hasil perolehan suaranya dengan menggunakan tim pemantaunya sendiri. Padahal, di TPS 46 Cieunteung, Baleendah, Bandung, perolehan suara Rieke bahkan mengalahkan suara Ketua Dewan Penasihat Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Taufiq Kiemas. "Pak Taufiq kalah sama Oneng," kata Yadi Djuandi, Ketua KPPS 46. Di TPS ini, 156 pemilih PDI Perjuangan mencontreng nama Oneng. Sedangkan Taufiq hanya meraih 70 suara. Yadi memastikan Rieke unggul di TPS lain di wilayah Cieunteung. "Mungkin karena dia artis," ujar Yadi. Meski unggul di beberapa tempat, Rieke belum yakin betul bakal lolos ke Senayan. Jika Rieke berada di atas aufik Kemas dalam pereolahn suara semantara, ternyata membuat Wanda Hamidah gak bisa tidur. Tapi jangan berpikir ya bukan-bukan. Wanda gak gak bisa tidur karena hasil penghitungan cepat yang dilakukan partainya, Wanda Hamidah, dinyatakan berhasil mendulang 30 persen suara dari 42.725 suara pemilih di daerah pemilihan Jakarta Selatan. Dengan hasil itu, bisa dipastikan, aktris yang juga model ini bakal melenggang ke kursi parlemen DKI Jakarta. Meski mengaku bersyukur dengan capaian itu, namun Wanda merasa cemas. “Semalam aku justru nggak bisa tidur. Bukan karena cemas dengan hasil itu ya, tetapi memikirkan bagaimana nanti ke depannya. Apa aku bisa benar-benar mewujudkan harapan orang-orang yang telah memberikan kepercayaan ini,” ujar Wanda di Jakarta, Sabtu (11/4). Berkali-kali Wanda berusaha memejamkan mata, namun tak berhasil juga. Ia pun mencoba menenangkan fikiran dengan membaca bermacam buku, majalah, dan koran. Hasilnya sama saja. Baru setelah ibu tiga anak ini shalat hajat dan berzikir, kecemasan berangsur reda. “Soalnya, aku takut mengecewakan masyarakat. Tapi, setelah sholat semangat bangkit lagi. Ada kekuatan yang membangkitkan, aku harus bisa karena aku mampu,” paparnya. Padahal, kata Wanda, beberapa saat menjelang penghitungan suara dilakukan, dirinya sempat pesimistis. Pasalnya, mendengar kabar di beberapa tempat pemungutan suara, banyak warga yang tidak mencontreng. “Alhamdulillah, 60 persen lebih aku dinyatakan unggul di tempat pemungutan suara di wilayah yang pernah aku kunjungi saat kampanye,” tambahnya. Bagaimana? Masih cemas tak bisa tidur? “Oh..tidak cemas lagi. Tapi masih tetap nggak bisa tidur, karena banyak teman, saudara, pendukungku, masyarakat yang telpon menanyakan hasil ini. Tapi aku ikhlas melayani mereka,...,” jawab wanda disusul tawa. (TI/MH)

Ngerumpi Saat Nyontren

Ngerumpi Saat Nyontren Boleh Aja tuh.. Ngerumpi yang menjadi kebiasaan tak terlupakan bagi para kaum hawa, tidak melihat tempat dan waktu. Asal topik pembicaraan nyambung ngerumpi pun jalan terus. Itulah sekelumit cerita dari beribu kisah saat pemungutan suara legislatif 9 April lalu. Sejak negara ini melaksanakan pemilihan umum, dulu kita ingat semboyang yang digaungkan adalah pemilu harus LUBER “Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia”. Tapi pemilu tahun ini, semboyang itu sudah tidak laku lagi. Kalau dulu, seorang suamipun tak tahu siapa yang pilih istri dan anak-anaknya. Tapi tahun ini, sesama warga yang kebetulan sama-sama masuk bilik suara, tampaknya kerahasiaan pilihan sudah tidak menjadi tabu. Alhasil, kalau boleh dikatakan mereka punya kesempatan ngerumpi dibilik suara tersebut. Ketika kerahasiaan pilihan ditanyakan kepada warga, berbagai alasan meluncur deras untuk mencari pembenaran diri. Diantara mereka Ibu Inah (60) yang mengaku tinggal di Kelurahan Sidorejo Hilir Kec Medan Tembung dan terdaftar memilih di TPS 12. “Saya memang menanyakan pilihan orang yang bersamaku masuk bilik suara,” akunya. Kata Ibu Inah, itu terpaksa dilakukannya karena rumitnya sistem memilih pada pemilu tahun ini. Partainya banyak, calegnya ribuan, kertasnya lebar, tulisannya tidak terlalu jelas, ditambah lagi bilik suara yang sangat sempit. Ketika ditanyakan kerahasiaan pemilih, Ibu Inah mengatakan dulunya itu bisa dilakukan. Sebab pemilu yang dulu, bilik suaranya terbuat dari kain dan luas. Peluang untuk bertanya sesama pemilihpun tidak ada. Nah Kalau sekarang, bilik suara hanya terbuat dari kaleng berukuran kecil, jarak antara satu bilik dengan yang lain tidak ada dan tanpa penutup. Selain persoalan itu Ibu Inah juga mengaku sangat kesulitan saat hendak mencontreng. Untuk melihat partai dan caleg, kita harus membuka kertas suara yang begitu lebar. Belum lagi, sosialisasi cara memilih yang dilakukan KPU, pemerintah dan partai bisa dikatakan saat minim. “Sudahlah caranya baru, sosialisasinya pun hampir gak ada, akhir saya tidak paham,”ucap Ibu Inah. Cerita Ibu Inah ini mungkin saja terjadi di ribuan TPS atau bahkan jutaan TPS yang ada di Indonesia. Lalu apa dasarnya KPU dan pemerintah punya target muluk terkait tingkat partisifasi warga dalam memberikan hak suara terbantahkan. Ditambah lagi bukti di lapangan tingkat partisifasi warga pada pemilu legislatif tahun ini, masih menjadi kampiun, sang juara dan peraih suara terbanyak.

Golput Juara Pemilu Legislatif

Golput Juara Pemilu Legislatif Purba salah seorang warga Kota Medan terpaksa harus mengurungkan niat untuk bisa berpartisifasi pada pemilu legislatif 9 April lalu. Meskipun secara kenegaraan diakui dengan bukti memiliki kartu rumah tangga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP), namun hak demokrasinya tidak diakui. Buktinya, pada pemilu legislatif, 9 April lalu dia dan keluarganya tidak masuk dalam Dapftar Pemilih Tetap (DPT). Akibatnya, meskipun sudah mencoba mempertanyakan nasibnya dan kelurganya, tetap saja tidak ada solusi. Al hasil Purba dan Keluarga tidak bisa mencontreng. “Saya dan keluarga memiliki KK dan KTP yang terdaftar di Kelurahan Tanjung Gusta, tapi saya heran kenapa tidak terdaftar di DPT,”ujarnya bingung. Diakui Purba, perihal tidak terdaftarnya dia sebagai pemilu sudah dipertanyakan kepada pihak kelurahan. Namun dia hanya mendapat jawaban, “nanti akan kita data kembali’. Ironisnya hingga satu hari jelang pencontrengan, surat undangan untuk memilih tak kunjung diantar ke rumahnya. Nasib yang dialami Purba, diperkirakan juga dialami ratusan bahkan ribuan warga di Sumatera Utara. Warga yang sudah bisa memilih, hak demokrasinya dizalimi pihak pemerintah dan penyelenggara pemilu (KPU,red). Akibatnya, jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak suara alias golput merajai pemilihan anggota legislatif. Belum lagi, kebingungan warga saat memilih akibat minimnya sosialisasi pemilu dengan sistem baru pada tahun ini, semakin meningkatkan jumlah golput. Lalu seperti apa kredibilitas para wakil rakyat yang hanya dipilih sebagian kecil pemilih. Tingginya angka golput sudah terlihat dari hasil perhitungan suara pemilihan legislatif yang sudah selesai 9 April kemarin. Seperti yang ada di TPS 40 Lingkungan V Kelurahan Tanjung Gusta Kecamatan Medan Helvetia misalnya. TPS 40 menerima 430 surat suara untuk masing-masing tingkat DPR-RI, DPRD Provinsi, DPRD Kota dan DPD. Untuk DPR-RI surat suara sah sebanyak 182, dan 6 surat suara yang tidak sah dan 242 surat suara tidak terpakai. Tingkat DPRD Prov, 181 surat suara sah, 7 surat suara yang tidak sah dan 242 surat suara tidak terpakai. Tingkat DPRD Kota, 185 surat suara sah, 3 surat suara tidak sah dan 242 surat suara tidak terpakai. DPD, 183 surat suara sah, 5 surat suara tidak sah dan 242 surat suara tidak terpakai. Di TPS 40 ini, jumlah DPTnya 418 orang, warga yang hadir untuk mencontreng hanya 193 orang. Sisanya 225 orang tidak hadir memberikan suaranya alias golput. Ditempat berbeda, kondisi yang sama juga terjadi. Butuh Waktu Hampir sebagian besar pemilih dan termasuk para petugas PPS dan saksi partai politik mengaku mengalami kesulitan dalam membuka surat suara. “Kita sedikit kesulitan saat membuka dan melipat kembali surat suara untuk dihitung. Sebab surat suaranya terlalu besar,” kata Lilik salah satu anggota PPS di TPS 40 kepada KPK Pos kemarin malam. Disebutkan Lilik dengan kondisi surat suara terlalu besar, lalu banyaknya jumlah partai dan banyaknya posisi tingkat surat suara yang harus dilihat, memaksa panitia ekstra hati-hati dalam penghitungan suara. Karena itu pula, penghitungan membutuhkan waktu lama. Kesulitan yang sama juga dirasakan Rina, seorang pemilih yang terdaftar di TPS 40. Menurut Rina surat suara pada pemilu tahun ini terlalu besar. “Surat suara tahun ini terlalu besar, saya sulit membuka dan melipatnya kembali. Belum lagi jumlah partai politik dan caleg yang begitu banyak. Hal itu membuat saya binggung, siapa yang harus dipilih,”ujarnya. (VINA/MH)

Berguru Pemilu ke India

Berguru Pemilu ke India, Mengapa Tidak Persis sepuluh hari lalu, Indonesia menggelar pemilihan umum (pemilu) ketiga setelah rezim Orde Baru runtuh. Meski sudah tiga kali, pemilu terakhir ini ternyata tak bisa dibilang lebih baik dari dua sebelumnya. Bahkan, banyak yang menilai, inilah pemilu terburuk sepanjang sejarah reformasi. Soal yang satu ini, tampaknya, Indonesia tidak boleh malu untuk belajar dari India - negara demokrasi terbesar di dunia – dalam hal menggelar pemilu. Kamis (16/4), India mulai melaksanakan pemilu terbesar di dunia. Para pemilih akan menentukan 543 wakil mereka di Lok Sabha (Dewan Perwakilan Rakyat). Di India, pemilu adalah pesta politik yang melibatkan sekitar 714 juta orang sebagai pemilih, mempekerjakan 4 juta orang sebagai panitia pemilu, serta membutuhkan sekitar 800.000 TPS dan waktu sebulan untuk penyelenggaraannya (16 April-16 Mei 2009). Meski melibatkan ukuran-ukuran yang sangat masif, harus diakui India mampu menorehkan catatan panjang dalam menyelenggarakan pemilu yang relatif damai dan teratur. Kecurangan memang ada, tetapi tahun demi tahun kasus-kasus intimidasi terhadap pemilih dan jual beli suara kian menurun. Berbeda Ada perbedaan-perbedaan yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia dan India. Perbedaan dimulai dari penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Di India, para pemilih berusia di atas 18 tahun mendaftarkan diri (stelsel aktif), bukan didaftar (stelsel pasif) seperti di Indonesia, sehingga kasus penyimpangan DPT dapat diminimalkan. Apalagi, setiap pemilih diberi kartu identitas berfoto oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kemungkinan pemberian suara dengan menggunakan joki juga diperkecil. Di Indonesia, kini, siapa pun bisa menjadi calon anggota legislator (caleg), tak peduli apakah ia pekerja/kader partai atau bukan. Saat kampanye lalu, kita dibingungkan melihat berbagai wajah, berbagai profesi, berbagai latar pendidikan, terpampang di poster-poster dan baliho-baliho di pinggir jalan, di pohon-pohon dan berbagai tempat. Pertanyaan yang kerap muncul, “Siapa orang-orang ini? Dari mana mereka datang? Apakah kita harus memilih mereka meski kita tak tahu kualitas orang-orang tersebut?” Jumlah caleg yang begitu banyak (akibat sistem proporsional terbuka) tentu memusingkan pemilih. Maka, jangan salahkan mereka jika caleg-caleg yang tak mereka kenal itu tidak menarik minat. Di India, ada lebih dari seribu partai menjadi peserta pemilu (sebagian besar partai lokal), jauh lebih banyak dari 38 partai nasional dan 6 partai lokal di Indonesia. Namun, pemilih tidak perlu pusing menimbang-nimbang caleg mana yang paling baik. Mereka hanya perlu melihat partai karena setiap partai hanya menyertakan satu caleg di tiap-tiap distrik. “Di India, masing-masing calon adalah kader dari partainya,” kata Duta Besar India untuk Indonesia Biren Nanda, di kediamannya, beberapa waktu lalu. Maka, tak akan ada orang yang tiba-tiba menjadi caleg sebuah partai tanpa ada catatan aktif sebagai pekerja atau kader di partai tersebut. Para caleg tak perlu memasang banyak baliho atau poster yang biayanya sangat mahal untuk mempromosikan diri. Mereka wajib mendatangi konstituen karena hal itu dilakukan jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan pemilu. Lebih Murah Pemilu di Indonesia sangat tak ramah lingkungan karena menggunakan kertas untuk pemberian suara. Ada sekitar 170 juta pemilih yang terdaftar. Untuk memenuhi kebutuhan itu, mari kita kalikan 170 juta dengan 4 (rata-rata pemilih diberi empat lembar kertas suara). Hasilnya adalah 680 juta lembar kertas suara seukuran koran. Sebuah angka yang membuat dahi para pencinta lingkungan mengeryit. Pemilu India jelas lebih ramah lingkungan karena tidak menggunakan kertas. Sebagai gantinya, sebanyak 1,1 juta mesin penghitung elektronik (EVM) digunakan dalam pemilu kali ini. Oleh karena menggunakan peralatan yang canggih, penghitungan suara bisa diselesaikan dalam satu hari, yaitu pada 16 Mei. Bandingkan dengan Indonesia yang membutuhkan dua pekan untuk mengumpulkan dan menghitung suara. Penggunaan EVM dalam Pemilu India telah berhasil mengurangi, kalau tidak bisa menghilangkan fenomena suara tidak sah. EVM juga sangat membantu para pemilih yang buta huruf karena mereka tak perlu membaca nama caleg (seperti di Indonesia). Mereka hanya perlu melihat simbol-simbol partai pada mesin tersebut. “Bahkan, yang buta huruf pun bisa memilih dengan mudah,” kata Biren Nanda. Maklumlah, banyak pemilih di India datang dari kalangan tak berpendidikan. Indonesia semestinya melakukan hal serupa karena jumlah orang yang buta huruf di negeri ini pun masih sangat besar. Dengan sistem pemberian suara seperti pemilu lalu, mereka pasti kesulitan mencentang caleg-caleg pilihan karena membaca nama pun mereka tak bisa. India membutuhkan sekitar 800.000 TPS untuk melayani para pemilih. Namun, jangan bayangkan pendirian tenda-tenda seperti yang terjadi di Indonesia. Di sana, KPU memanfaatkan gedung-gedung sekolah ataupun kampus. Perbedaan-perbedaan ini membuat dana yang dibutuhkan juga berbeda. Di India untuk keperluan logistik pemilu, dana yang dibutuhkan diperkirakan sebesar US$ 400 juta (atau sekitar Rp 4triliun). Angka ini jauh lebih kecil dengan anggaran pemilu Indonesia yang mencapai Rp18 triliun (apalagi kalau ditambah biaya kampanye puluhan ribu caleg!). Demokrasi di Indonesia baru seumur jagung memang. Saat Indonesia baru menjalani tiga pemilu yang demokratis, India sudah melaksanakannya sejak 1951. Jadi, tak salah juga kalau kita belajar dari tetangga sebelah di seberang Samudera Hindia itu, tak perlu jauh-jauh ke Amerika atau Eropa. (S LUBIS)

KPU Busuk Hasilkan Presiden Busuk

Kisruh DPT KPU Busuk Hasilkan Presiden Busuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) dianggap sebagai dalang atas kegagalan melaksanakan pemilu legislatif 2009, terkait amburadulnya Daftar Calon Tetap (DPT). Ketidakmampuan KPU menyelenggarakan Pemilu sesuai UU No. 22/2007 tentang penyelenggaraan Pemilu, membuat banyak rakyat kehilangan suara. Sejumlah elemen masyarakat dan partai politik mendesak agar 7 anggota KPU dicopot dan Badan Pengawas Pemilu didesak segera melakukan pengusutan. ''Saya kira sudah saatnya anggota KPU diganti agar pemilu presiden bisa berjalan dengan baik, apalagi mereka telah gagal yang menyebabkan pemilu legislatif cacat DPT busuk dan cacat kepercayaan publik. Pemberhentian anggota KPU itu sesuai pasal 29 ayat 3 karena melanggar sumpah/janji jabatan sesuai pasal 29 ayat 2 (b) dan diganti calon anggota urutan berikutnya dari pemilihan DPR sesuai pasal 29 ayat 4 (a). Dan sesuai UU, Presidenlah yang memberhentikan mereka,'' papar pengamat politik, Fajroel Rahman di Jakarta. Dalam kondisi seperti ini, lanjut Dewan Pembaharuan Nasional, tidak ada alasan untuk tidak mengganti anggota KPU dengan menunjuk orang yang lebih mampu. ''Kalau mereka tidak diganti pada pilpres nanti akan dihasilkan presiden busuk karena pemilu diselenggarakan oleh KPU busuk,'' ungkapnya. Disinggung kenapa SBY tidak juga mengganti mereka? ''Inilah masalahnya, padahal seluruh anggota KPU itu sudah gagal menjalankan tugasnya. Menurut saya mungkin bagi SBY komposisi anggota KPU saat ini masih menguntungkan karena para anggota KPU itu masih loyal. Apalagi ada rumor ada anggota KPU yang dijanjikan bakal duduk di kabinet mendatang, dan jika itu benar tentu sangat berbahaya, karena KPU tidak lagi independen sehingga cenderung berpihak kepada parpol atau tokoh tertentu. Ini jelas mengancam demokrasi,'' komentarnya. Depdagri dan KPU Bisa Dipidanakan Hermananto dari LBH Jakarta menilai pejabat Depdagri bersama KPU harus bertanggungjawab atas data kependudukan (DP4) dan DPT yang menjadi penyebab banyak warga negara kehilangan hak pilih dalam pemilu legislatif. Kasus ini harus diselesaikan secara pidana. Dilanjutkan, dalam UU Pemilu No 10 Tahun 2008 berlaku asas stelsel pasive. Artinya negara yang mencatat siapa saja warga negara yang punya hak pilih seperti tercantum dalam DPT yang bersumber dari data kependudukan Depdagri. Kenyataannya data kependudukan tersebut menyebabkan banyak warga kehilangan hak pilihnya. Logika hukumnya, pejabat Depdagri yang bertanggungjawab atas data kependudukan itu harus bertanggungjawab di depan hukum. Pejabat yang paling bertanggungjawab itu bisa dipidana. Dalam kasus ini mestinya, Bawaslu segera membawa kasus ini ke Kepolisian untuk diusut secara pidana. ''Selain pejabat Depdagri jadi tersangka I, KPU juga turut menjadi tersangka II. Karena KPU tidak melakukan verifikasi data kependudukan itu secara baik. Di tempat terpisah, Jimly Assiddiqi - mantan Ketua Mahkamah Konstitusi menegaskan pemerintah termasuk Mendagri memang tidak bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan pemilu. Ini sesuai amanat UUD yang baru (hasil amandemen). Namun demikian, Depdagri bertanggungjawab terhadap data kependudukan. Karena itu kalau data kependudukan dituding menjadi penyebab banyak masyarakat tidak dapat menggunakan hak pilihnya, Bawaslu harus melakukan pengusutan untuk membuktikan apakah benar data kependudukan itu penyebabnya. Kalau benar harus dicari siapa yang bersalah. ''Dalam masalah ini, pemerintah sendiri jelas tidak mau disalahkan. Kalau harus dicari siapa yang salah, hendaknya Bawaslu melakukan pengusutan karena hasil pengusutannya akan menentukan siapa yang bersalah. Indivivu-individu yang bersalah inilah yang harus bertanggungjawab di depan hukum,'' ucap Jimly yang juga Ketua Dewan Penasehat KPU. Menurutnya, jika pemerintah menyatakan tidak bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pemilu, itu merupakan statement yuridis yang tidak salah. Karena dalam UUD sebelum diamendemen penanggungjawab Pemilu adalah Presiden. Tapi karena presiden menjadi peserta pemilu, dalam UUD yang baru ditegaskan penanggungjawab Pemilu berada di bawah KPU secara independen. "Kecuali dalam keadaan darurat seperti terjadi kondisi kacau, Presiden sebagai kepala negara mengambilalih tanggungjawab penyelenggaraan pemilu," tegasnya. Mendagri dan KPU Harus Mundur Aktivis Pro Demokrasi (Prodem) berencana melakukan sejumlah aksi menuntut tanggungjawab pemerintah, terutama Mendagri Mardiyanto yang tidak bekerja secara baik terkait buruknya data kependudukan Indonesia sehingga menyebabkan pemilu kacau. "Busuknya hasil pemilu legislatif akibat buruknya data kependudukan yang diberikan Depdagri sehingga menjadi tanggung jawab dari Mendagri Mardiyanto," kata Sekjen Prodem Adrianto. Juga, Presiden SBY sebagai puncuk penanggungjawab pemilu harus bersikap tegas, jika perlu menonaktifkan Mendagri juga 7 anggota KPU yang tidak mampu menjalankan tugasnya. Sebab, pemilu merupakan penentu nasib bangsa ke depan. Apalagi kinerja KPU saat ini sangat buruk dan ada kesan KPU sekarang mirip dengan KPU pada zaman orde baru, karena jika dilihat dari para anggota KPU yang merupakan orang-orang pemerintah atau aparat negara. Sehingga, KPU saat ini tidak independen. Dengan demikian, pertanyaannya apakah subtansi pada pemilu ini layak untuk diakui keabsahannya atau tidak. "Pemilu yang busuk, tidak menghasilkan pemerintahan yang baik. Sebab, secara logika tingginya angka golput seharusnya secara otomatis juga menurunkan perolehan suara semua parpol tanpa terkecuali' Karena itu kami mencurigai hasil pemilu legislatif penuh dengan kecurangan dan konspirasi yang cacat moral dari pihak-pihak tertentu. Ini harus diungkap oleh Bawaslu,'' pintanya. Anggaran Terlambat Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary berdalih amburadul-nya masalah DPT disebabkan anggaran terlambat dikeluarkan. Anggaran baru turun pada 25 Juli 2008, padahal tanggal 25 April sudah mulai (pendataan). Sehingga berakibat pada pembentukan lembaga-lembaga maupun badan-badan yang ada di daerah itu tertunda. Juga, pada April, Mei dan Juni 2009, saatnya pemutakhiran data dilakukan. Sementara pada Agustus, daftar pemilih sementara (DPS) harus sudah ditetapkan. Sehingga Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) itu menjadi banyak kendala. Selain itu, di beberapa daerah sedang berlangsung Pilkada. Akibatnya, konsentrasi terpecah. Sementara masalah-masalah yang dihadapi saat Pilkada ini juga ikut mengganggu, sehingga jika kinerja petugas PPDP tidak maksimal bisa dipahami. ''Juga, masalah psikologis yang terkait penggantian personel di KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota menjelang Pemilu Legislatif. Hal itu ikut mengganggu kinerja terutama di wilayah yang ada Pilkada. Pada saat bersamaan mereka harus melakukan verifikasi Parpol dan verifikasi calon DPT,'' katanya. Ketua KPU menolak usulan pembatalan hasil Pemilu Legislatif terkait amburadulnya DPT. Karena dasarnya kurang kuat dan itu hanya dugaan-dugaan beberapa pihak saja. Juga, tidak ditemukan klausul dalam UU yang bisa membenarkan pembatalan hasil Pemilu kecuali jika ada bukti bahwa Pemilu tidak terlaksana sesuai UU. ''Jadi nggak benar soal DPT ada unsur kesengajaan. Memang pelaksanaan Pemilu 2009 masih ada kemelahan dan kekurangan, namun hal itu sedang kita upayakan untuk dibenahi saat Pilpres,'' jelas Ketua KPU. (ENDY/KPK POSM JAKARTA)

Ekstravaganza TV Pool Pidato SBY

Ekstravaganza ‘TV Pool’ Pidato SBY Oleh: Dandhy D Laksono (freelance journalist) Sekitar pukul sebelas malam (Kamis, 16 April 2009), RCTI menyiarkan pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, berdurasi 20-an menit. Isinya klarifikasi SBY sebagai Kepala Negara atas tudingan berbagai pihak bahwa rezimnya telah bertindak curang dalam pemilihan umum legislatif, 9 April lalu. Dalam pidato itu, SBY juga membabat habis argumen para lawan politiknya yang menuding pemerintah berada di balik kacaunya Daftar Pemilih Tetap (DPT). Juga mematahkan tudingan bahwa Pemilu 2009 adalah pemilu terburuk setelah reformasi. RCTI mengemasnya dalam program bertajuk “Presiden Bicara”. Di saat yang nyaris bersamaan, ternyata hampir semua stasiun televisi seperti TPI, Trans TV, ANTV, Indosiar, dan TV One juga menayangkan pidato yang direkam di Istana Negara siang harinya itu. TPI—satu grup dengan RCTI di bawah bendera MNC—bahkan mengemasnya dalam “Breaking News”. Breaking news atau di media cetak dikenal dengan stop press biasanya dipakai untuk jenis berita yang benar-benar mendesak untuk disiarkan. Misalnya, malam itu Presiden SBY mengumumkan penurunan harga BBM saat TPI sedang memutar sinetron, maka bisa saja program itu dihentikan untuk menyiarkan hal itu. Atau ada bencana besar seperti gempa bumi dan tsunami. Karena itu, sulit membayangkan mengapa redaksi TPI masih nekat menggunakan breaking news untuk sebuah pidato yang sudah disiarkan televisi lain sekitar lima jam sebelumnya. Stasiun televisi lain yang dimaksud adalah SCTV. Stasiun milik keluarga pengusaha Sariaatmadja itu sudah menayangkan pidato SBY sejak sore di program Liputan 6 Petang, jam 17.30 – 18.00 WIB. Program berita yang durasinya hanya 30 menit itu didominasi pidato SBY sehingga hanya tersisa 1-2 item berita saja setelah adzan maghrib. Usut punya usut ternyata tim SCTV-lah yang merekam pidato itu, dan hasil rekamannya dibagi-bagikan kepada ruang redaksi televisi lain. Komposisi kamera yang seragam setidaknya menguatkan hal ini. Singkat kata, fenomena ini seperti TV pool di mana semua saluran televise telestrial menyiarkan program yang sama di waktu yang hampir bersamaan. Secara teori, TV pool hanya bisa digerakkan oleh dua hal saja: pemasang iklan komersial dan alasan sosiologis-politis. Saat Tien Soeharto meninggal pada April 1996, misalnya, semua televise terkena “wajib relay”. Pusat kontrol siaran saat itu berada di RCTI, langsung di bawah pengawasan pengusaha Peter Gontha. TV pool memang memerlukan koordinasi terpusat. Di masa Orde Baru barangkali tidak sulit mengorganisasi TV pool karena pemiliknya relatif sama: keluarga dan kroni Cendana. Tapi kini tentu tingkat kesulitan politisnya lebih tinggi. Dibutuhkan sebuah super-body untuk bisa menggerakkan ruang-ruang redaksi televisi yang pemiliknya sudah relatif beragam ini. Dibutuhkan invisible hand yang mampu meng-gerilya para pengambil kebijakan di redaksi agar menyediakan durasi yang mahal itu, untuk memutar 20 menit pidato SBY. Dalam struktur televisi, pemimpin redaksi tidak punya otoritas untuk menghentikan tayangan sinetron tanpa persetujuan direktur progam atau direktur utama, betapa pun informasi itu memiliki nilai berita tinggi. Karena itu, bisa dipastikan bahwa penayangan pidato SBY secara serentak Kamis malam, digerakkan oleh instruksi yang datangnya dari otoritas yang lebih tinggi. Dalam kalimat langsung: para pemilik televisi lah yang mengotorisasi tayangan tersebut. Apakah para pemilik televisi membuat konsensus atau hanya menjalankan perintah top down dari Istana? Itulah yang mesti dicari tahu. Apa Salahnya ‘TV Pool’? Lantas apa yang salah dengan siaran serentak pidato presiden? Ini adalah masalah kaidah-kaidah jurnalistik yang ditabrak beramai-ramai oleh para pengelola stasiun televisi. Liputan 6 Petang SCTV, misalnya, mengalokasikan 20 menit lebih dari (hanya) 30 menit program beritanya untuk pidato SBY. Dus itu berarti, ada lusinan berita lain yang dipangkas, dan berita-berita itu pastilah menyangkut kepentingan publik seperti flu Singapura, perkembangan ketegangan di Papua, gempa di Mentawai atau perkembangan kasus-kasus korupsi yang sedang ditangani KPK. Publik membutuhkan informasi lain selain urusan pemilu dan konflik para elit politik. Dan ini yang dengan sengaja diabaikan. Tapi baiklah, mungkin saja redaksi SCTV menganggap 20 menit pidato itu isinya memang penting semua dan memiliki kandungan nilai berita tinggi (news value), sehingga tidak perlu di-edit atau dicuplik bagian-bagian tertentu, melainkan digelundungkan begitu saja. Demikian juga dengan kebijakan redaksi televisi lain. Saking tingginya nilai berita pernyataan SBY itu, sampai-sampai tidak sabar menunggu program berita regular malam atau pagi harinya, dan harus disampaikan saat itu juga, tanpa editing. Tapi argumen ini tetap tidak bisa diterima secara jurnalistik. Selain janggal dari sisi alokasi durasi, ‘TV pool’ pidato SBY juga tidak mencerminkan sikap media yang obyektif dan imparsial. Dalam konteks kisruh hasil DPT atau tudingan kecurangan pemilu, pemerintah (dalam hal ini presiden) hanyalah salah satu pihak dari sekian banyak pihak seperti KPU, Bawaslu, parpol peserta pemilu, organisasi non pemerintah pemantau pemilu, dan (terutama) para pemilih. Bila dalam posisinya sebagai kepala negara saja, SBY secara jurnalistik hanyalah salah satu pihak, konon lagi sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Apalagi, Presiden SBY sendiri-lah yang menyatakan dalam pidatonya malam itu, bahwa pemerintah bukanlah penanggung jawab pemilu, melainkan KPU. Bila demikian, lalu di mana letak nilai berita pidato SBY untuk mendapatkan durasi sepanjang itu? Secara jurnalistik, semua pihak harus dipandang sejajar. Tidak ada yang lebih tinggi kastanya antara satu dengan yang lain. Opini Prabowo atau Megawati tentang kekacauan DPT, secara substansi memiliki bobot yang sama dengan keluh kesah (maaf) tukang becak bernama Bejo yang tidak bisa memilih karena tidak terdaftar. Juga sama bobotnya dengan pembelaan KPU, kritisisme Bawaslu, atau penjelasan Depdagri dan pemerintah. Maka, bila SBY diberi durasi 20 menit di sebuah program berita reguler atau program khusus seperti di SCTV, RCTI, Trans TV, dan TPI, bagaimana bila para stake holder yang lain juga menuntut hal yang sama? Katakanlah 10 elit parpol esok atau lusa menunjuk satu juru bicara untuk membalas argumen-argumen SBY, apakah stasiun televisi itu akan melakukan kebijakan yang sama? Atau akan memilih-milih yang dianggap penting saja, dan membungkusnya di program berita biasa? Bagaimana pula bila Ketua KPU yang akan memberikan penjelasan rinci dan panjang lebar. Adakah ruang untuknya, sama seperti ruang untuk Presiden SBY? Proporsionalitas tentu bukan soal durasi yang sama, tapi apakah pihak lain sudah mendapat kesempatan untuk mengutarakan semua perspektifnya. Inilah yang sangat diragukan bisa dilakukan secara adil oleh para pengelola televisi. Sama meragukannya dengan apakah Metro TV bisa memberikan porsi yang sama kepada pimpinan partai lain, selain menayangkan pidato-pidato politik Surya Paloh yang juga politikus Golkar. Di facebook, seorang rekan jurnalis menulis: “Kok waktu tragedi Situ Gintung, tsunami, dan bencana lainnya, tidak ada permintaan durasi tayang sebanyak itu dari Istana, ya?” Ini bukan soal siapa menjadi pemilik media apa. Stasiun-stasiun televisi itu menggunakan gelombang frekuensi yang sebenarnya adalah domain publik. Karena itu, industri televisi diatur sedemikian rupa melalui Undang Undang Penyiaran, Kode Etik Jurnalistik (Dewan Pers), maupun Pedoman Perilaku Penyiaran yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Maka, publik sangat berhak mengkritisi apa yang ditayangkan oleh stasiun-stasiun televisi terestrial itu. Permainan Politik Pemilik Televisi Sulit untuk tidak menduga bahwa ‘TV pool’ pidato SBY adalah buah dari patronase politik yang sedang dijalankan para bos-bos televisi yang merasa perlu merapat ke Istana. Tekanan dari Istana agar menyiarkan ini dan itu tidak akan terlalu banyak berpengaruh andai para pemilik media dan para elit redaksi memiliki dignity dan independensi. Tapi bila di antara mereka sedang mengincar proyek tertentu, atau malah memiliki kasus hukum, maka tak heran bila layar televisi-nya dijadikan alat tawar menawar (bargaining) untuk mencari dukungan politik. Hubungan politik dan ruang redaksi televisi sebenarnya bukan barang baru. Pergantian direksi TVRI selalu diwarnai kericuhan karena terjadi tarik-menarik kepentingan hingga di DPR. Karyawan TVRI di masa Orde Baru adalah juga kader Golkar. Pada tahun 2003, Wakil Pemimpin Redaksi RCTI, Ivan Haris, mengundurkan diri karena menganggap stasiun televisi itu tidak independen dengan mengangkat pemimpin redaksi yang diduga akan mengusung kepentingan partai politik tertentu. Tentu saja tudingan itu dibantah berbagai pihak. Tetapi, entah berhubungan atau tidak, sang pemimpin redaksi yang dipersoalkan itu memang diganti setelah Pemilu 2004 usai. Istana atau mungkin konsultan-konsultan politik di sekitarnya, barangkali bisa berargumen bahwa pidato SBY sebagai kepala negara penting untuk mendinginkan suasana agar tidak terjadi perpecahan politik yang mengarah pada instabilitas. Dan nilai itu tentu jauh lebih prioritas dibandingkan ‘altruisme nilai-nilai jurnalistik’. Argumen itu adalah tafsir politik. Benarkah bangsa ini lebih teduh dan tentram setelah pidato SBY?Atau justru makin riuh rendah dan gayung bersambut kontroversi ini? Tugas jurnalisme bukan mengakomodasi tafsir-tafsir politik sepihak semacam ini dengan menyediakan durasi berapa pun yang diminta negara atau yang mewakilinya. Jurnalisme tidak terikat dengan jargon-jargon semacam ini. Tugas jurnalisme adalah memastikan apakah semua perspekif sudah terwakili sehingga penilaian salah benar akan ditentukan oleh publik. Jurnalisme tidak terikat dengan patriotisme kewilayahan NKRI melebihi, misalnya, nilai-nilai kemanusiaan universal dan fakta-fata lapangan tentang pelanggaran HAM. Pasal 9 Pedoman Perilaku Penyiaran menyebut, “lembaga penyiaran harus menyajikan informasi dalam program faktual dengan senantiasa mengindahkan prinsip akurasi, keadilan, dan ketidakberpihakan (imparsialitas)” . Oleh pasal 11 ditandaskan bahwa “lembaga penyiaran harus menghindari penyajian informasi yang tidak lengkap dan tidak adil”. Sementara di Kode Etik Jurnalistik Dewan Pers pasal 1 menyebut, “wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk”. Saking pentingnya prinsip ini, Dewan Pers menempatkannya di pasal 1, melebihi pasal lain. Dan tidak ada satu pun pasal dalam kedua aturan itu yang membolehkan hal tersebut dilanggar dengan pengecualian untuk kepentingan pemerintah atau tentara. Pengecualian hanya untuk kepentingan publik. Seperti halnya profesi dokter yang menolong siapa pun yang terluka akibat perang, jurnalis tidak terikat dengan klaim-klaim politik siapa pun, baik formal kenegaraan maupun informal pinggir jalan. Pemberitaan yang berimbang tentu tidak berarti harus memberikan porsi durasi yang sama, melainkan bagaimana semua perspektif telah diwakili. Namun durasi 20 menit hanya untuk satu versi, jelas mengindikasikan ketidakberimbangan yang telanjang. Bila presiden merasa selama ini dirinya dimarjinalkan dalam pemberitaan seputar kisruh DPT dan tudingan kecurangan pemilu, maka ada 1001 cara untuk merespon hal tersebut, dan tidak perlu dengan gaya Orde Baru yang mendikte ruang-ruang redaksi televisi untuk menayangkan versinya sendiri. Para pembisik atau konsultan politik di sekeliling SBY mestinya tahu hal ini dan tidak justru menjemuruskan reputasi kliennya yang baru saja memengani pemilu legislatif. Masyarakat sedang menanti, apakah Dewan Pers atau Komisi Penyiaran Indonesia cukup bertaring untuk mempersoalkan dan menjatuhkan sanksi kepada stasiun-stasiun televisi dalam kasus ini. Dan tidak hanya tegas dalam kasus Thukul Arwana dengan Empat Mata-nya atau almarhum Lativi dengan program Smack Down-nya. (Tulisan dibawah ini berasal dari: http://jakartabeat. net/index. php?option= com_content& view=article& id=200:ekstravag anza-tv-pool- pidato-sby& catid=43: artikel&Itemid= 65)

Sabtu, 04 April 2009

Kontrak Politik PPP

Kontrak Politik PPP Serdang Berdagai Berantas Buta Baca Al-Qur'an dan Sejahterakan Guru Ngaji PARTAI Persatuan Pembangunan sebagai partai Islam terbesar dan tertua di Indonesia, sejarahnya tidak lekang dari sejarah umat Islam. Partai yang dilahirkan hasil bergabung partai politik islam (Partai Nadhaltul Ulama, Partai Sarikat Islam Indonesia,Partai Muslimin Indonesia dan Partai Islam Tarbiyah Indonesia) ini dibangun atas dasar keikhlasan para ulama. Partai berlambang Ka'bah ini sebagai wadah aspirasi umat Islam, dalam visi misi dan tujuan perjuangannya juga tetap membela kepentingan umat islam. Seperti kontrak politik partai yang dipimpin H Fadly Nurzal, S.Ag ini juga bersentuhan dengan upaya membangun dan mensiarkan ajaran islam ditengah-tengah masyarakat. Ketua DPW PPP Sumatera Utara H Fadly Nurzal, S.Ag didampingi Ketua DPC PPP Serdang Bedagai Usman Effendi Sitorus, S.Ag dalam sebuah perbincangan dengan KPK Pos baru-baru ini, di Serdang Bedagai mengatakan, kekuatan PPP ada bersama umat, karena itu PPP dalam setiap perjuangnya harus sejalan dengan kepentingan umat Islam. Berikut ini wawancara singkat bersama KPK Pos. (KPK Pos) : Sebagai partai islam tertua, apa yang sudah dilakukan PPP untuk umat ? (Fadly Nurzal) : PPP yang dilahirkan 35 tahun silam, sudah melakukan banyak hal terhadap umat bangsa dan negara ini. PPP juga sudah cukup pengalaman dan teruji diberbagai situasi politik. Karena itu, PPP tidak akan pernah lari dalam memperjuangkan kepentingan umat islam. Artinya, PPP tetap komit dengan berbagai potensi yang dimilikinya untuk mensejahterakan umat islam di berbagai sisi kehidupan. Menyongsong Pemilu legislatif, program apa yang ditawarkan PPP sehingga umat tetap bersama PPP? Fadly Nurzal :Sebagai partai politik peserta pemilu,tentunya PPP melakukan sosialisasi partai. Ya, lazim partai politik peserta pemilu yang lain. Namun dalam upaya itu tentu PPP tetap pada koridor nilai-nilai ajaran agama Islam. Artinya PPP tidak menghalalkan segara cara melainkan tetap beretika. Lalu apakah ada kontrak politik PPP dengan umat? Fadly Nurzal : Ya, PPP punya kontrak politik dengan umat. Secara umum seperti yang saya sebutkan tadi, PPP tidak akan pernah lari membela kepentingan umat islam, karena kekuatan PPP ada bersama umat. Oleh karena itu pula, PPP tidak akan pernah durhaka kepada umat islam. Sama halnya dengan kasus Provinsi Tapanuli (Protap). Sejak wacana itu digulirkan PPP sudah komit menolak pembentukan Protap tersebut. Alasannya dalam halaqoh ulama PPP telah memutuskan untuk menolaknya. Bagi PPP keputusan para ulama tersebut sudah final, dan keputusan ulama itu dikuatkan keputusan seluruh DPC PPP se-Sumatera Utara. Khusus di PPP Serdang Bedagai juga telah membuat kontrak politik dengan umat Islam di daerah itu. Apa dan bagaimana kontrak politik tersebut, itu maqomnya ketua DPC PPP Serdang Bedagai untuk menjelaskannya. Seperti apa konkrit dari Kontrak Politik PPP di Serdang Bedagai? Usman Effendi Sitorus (Ketua DPC PPP Serdang Bedagai) : Ada dua. Kontrak politik pertama, PPP Serdang Bedagai akan mendorong pembuatan Peraturan Daerah yang menjamin kesejahteraan para guru ngaji. Berdasarkan survei, di di Sergai terdapat 500 orang guru ngaji dan seluruhnya kohidupannya masih sangat memprihatinkan, sebab selama ini tidak ada perhatian dari pemerintah daerah. Padahal yang dilakukan guru ngaji tersebut adalah upaya menyelamatkan umat di dunai dan akhirat. "Seluruh guru ngaji itu, bermarga "siregar sirait", artinya dalam melaksanakan tugas memakai sepeda angin. Kontrak politik kedua, mendorong pemerintah membuat Perda tentang pemberantasan buta baca al-qur'an. Perda ini nantinya akan mewajibkan setiap siswa SLTP yang muslim harus mampu membaca al-Qur'an baru bisa dinyatakan lulus dan bisa melanjutkan sekolah ke tingkat lebih tinggi. Perda ini penting demi menyelamatkan generasi muda umat islam dari buta membaca al-Qur'an. Apalagi melihat kecenderungan orangtua yang merasa bangga putra bisa bahasa inggris, tapi tidak merasa malu anaknya buta membaca al-Qur'an. Mungkinkah kontrak Politik diadopsi DPW PPP Sumatera Utara? Fadly Nurzal : Bukan lagi mungkin, tapi pasti akan diadopsi. Sebab, kontrak politik ini sejalah dengan ruh perjuangan PPP dalam menjaga umat dari kehilangan ajaran agama Islam. Tapi kerena DPC yang punya umat, tentunya melalui DPW ini akan ditelorkan kepada seluruh DPC PPP di Sumatera Utara. Atau bila memungkinkan kontrak politik ini kita dorong menjadi program nasional PPP. ditambahkan Fadly Nurzal yang dikenal sebagai politisi santun dan tokoh muda islam yang konsiten membala umat, tentunya selain dua kontrak politik itu PPP tetap memperjuangkan kepentingan umat islam yang lain. Misalkan dari sisi ekonomi, pembangunan infrastruktur, pendidikan dan sebagainya. (Mtrsal Harahap)

Kampanye PPP Di Lapangan Sejati Medan

Suryadharma Ali : Kesejahteraan Mutlak Hak Rakyat MEDAN - Kampanye terbuka Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Lapangan Sejati Pangkalan Mahsyur Medan berlangsung Meriah dan Hikmad. Dihadiri ribuan kader dan simpatisan PPP dari seluruh Kota Medan dan seluruh Caleg DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kota Medan. Ketua Umum DPP PPP Drs H Suryadharma Ali M.Si (SDA) sebagai Juru Kampanye (Jurkam) nasional dalam orasi politiknya menhyatakan kesejhateraan mutlak hak rakyat bukan hanya sebatas wacana. Karena itu kesejahteraan harus diwujudkan. “PPP harus mampu merealisasikan kesejhateraan rakyat karena memang kesejahteraan bukan hanya wacana,” tegasnya SDA. Lebih lanjut SDA menyebutkan pada pemilu tahun ini, PPP bertekad melakukan perubahan. Dan perubahan itu mampu dilakukan PPP jika umat bersatu dan berjuang memenang PPP pada pemilu 9 April mendatang. SDA mengingatkan seluruh umat islam agar tidak terpengaruh isu-isu menyesatkan. Saat ini ada gerakan sistematis untuk menggeser umat islam dari parlemen dan pentas politik nasional. Munculnya isu bahwa partai politik islam tidak akan laku pada pemilu 9 April 2009, bukti adanya gerakan sistematis untuk menyingkirkan umat islam dari politik nasional. “Opini partai islam tidak akan laku pada pemilu 9 April 2009 adalah gerakan sistematisi yang sengaja dibangun untuk menggeser umat islam dari legislatif,” ungkap SDA. Kata SDA pengamat yang menyebutkan parpol islam tidak akan laku, saya tegaskan itu salah dan pengamatnya bodoh. Meskipun langit runtuh PPP tetap komit dan mempertahankan azas Islam berlambang ka'bah. “PPP tetap terdepan untuk mempertahankan azas islam dan ka'bah sebagai azas dan lambing partai,” tegas SDA. Untuk itu, Lanjut SDA umat islam harus bersatu dan bersama PPP melakukan perubahan kearah lebih baik. PPP akan menjadi garda terdepan melakukan pemberantasan kemiskinan, kebodohan dan membangun ekonomi kerakyatan demi mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dalam kesempatan itu SDA juga menghimbau seluruh umat islam agar tidak golput, sebab hal itu akan merugikan kepentingan umat islam sendiri. Mari kita bersama-sama mengajan suami, istri keluarga dan tetangga untuk memberikan hak suara kepada PPP. "Saya mengharapkan di keluarga umat islam tidak terjadi kebocoran, artinya kalau suaminya milih PPP, istrinya juga harus milih PPP,"kata SDA disambut Allahu akbar ribuan kader dan simpatisan PPP. Diakhir orasi politiknya, SDA mengingatkan masyarakat akan nomor PPP. “Takaran emas murni 24 karat, satu hari satu malam 24 jam, juz. ke 24 dalam al-Qur'an adalah surah an Nur atinya cayaha, ketua umum DPP PPP Surya yang juga bermakna cayaha. Jadi ingat tanggal April pilih nomor 24,” paparnya. selain itu Ketua Umum DPP PPP itu juga mengingatkan seluruh kader dan fungsionaris serta para caleg agar tidak melakukan tindakan yang bisa merusak nama baik PPP. ”Antar sesama caleg jangan saling memfitnah,” imbaunya. Sebelumnya ketua DPC PPP Kota Medan Ir Ahmad Parlindungan menyebutkan kampanye terbuka ini dihadiri ribuan kader dan simpatisan PPP. Pada kampanye kali ini dilakukan bazar rakyat, artinya PPP menyiapkan berbagai macam sajian makanan gratis. Pada kesempatan itu Parlindungan juga mengajak seluruh umat islam tetap bersatu dan bersama-sama memenangkan PPP pada pemilu 9 April mendantang. “PPP merupakan rumah politiknya umat islam,”ujarnya. Hadir pada kampanye terbuka itu Ketua DPP PPP Drs H Hasrul Azwar MM, KH Fahrur Roji Wakil Ketua Dewan SYari'ah DPP PPP, Ketua DPW PPP Sumut H Fadly Nurzal S.Ag, Drs H Rijal Sirait, Apriadi Gunawan, SS. Dan pengurus DPC PPP Kota Medan Mursal Harahap S,Ag, Ir Hamdan Sukrawi dan Ahmady Sahputra Purba SE. (MH)

Politisi Busuk itu…?

Istilah politisi busuk selalu muncul jelang pelaksanaan pesta demokrasi lima tahunan (pemilu) atau pada ajang pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada). Tapia pa sebenarnya defenisi politisi buruk, juga masih terjadi pro kontra. Namun berdasarkan penilaian masyarakat, ada beberapa criteria politisi busuk. Diantaranya, politisi yang demi ambisi mengejar jabatan, menghalalkan segala cara. Misalkan membeli suara rakyat agar bisa terpilih menjadi anggota legislatif. Suara rakyat dibeli hanya dengan puluhan ribu lalu setelah duduk, politisi busuk selalu lupa pada rakyat. Bahkan tidak jarang kemudian menyengsarakan rakyat. dengan uang adalah contoh politisi busuk. “Dibayarnya kita dengan uang puluhan ribu untuk memilih dirinya sebagai wakil rakyat, nanti sudah duduk dia di kursi DPR, kita dilupakannya,” pungkasnya. Bagi masyarakat lain, politisi busuk berarti politisi yang selalu ingkar janji. Ketika kampanye sejuta janji diumbar, tapi ketika rakyat menagis, dia lari dan menghilang. Indikator lain politisi bususk selalu lari ketika membicara kepentingan masyarakat. Misalkan ketika masyarakat memperjuangkan hak, dia sembunyi, masyarakat tuntut penuruhan harga sembako dia diam, masyarakat minta jaminan kesehatan di malah lari tunggang langgang. Atas sikap itulah kemudian, bagi masyarakat anggota legislative di semua tingkatan cenderung berprilaku politisi busuk. Ini muncul, disaat pemilihan wakil rakyat masyarakat seperti membeli kucing dalam karung. “Saya gak tahu apa kerja mereka, saya juga tak pernah mengenal anggota dewan, padahal setiap pemilu saya memilih. Caleg yang datang ke rumahnya belum pernah dikenalnya secara pribadi. Karena itu, kedepan soal pilihan nantilah dulu, di TPS bias saja pilihan saya berubah,” ucap Buddin. Politisi busuk bagi sebagaian masyarakat adalah politisi yang busuk hati. Termasuk politikus yang tak tepat janji dan korup saat duduk di parlemen. “Janji segede gunung, terima suap maunya segunung. Ini namanya politisi busuk,”. (Budi/MH)

Perempuan Bunga Rampai Politik ?

Bunga Rampai adalah kumpulan beberapa bunga yang disusun menjadi hiasan, dan bagai sebagian etnis bunga rampai dibutuhkan untuk keperluan sesajen atau tabur bunga. Sederhananya bunga rampai bermanfaat sebagai hiasan. Posisi caleg perempuan dalam pentas politik di negeri ini, hampir sama dengan bunga rampai. Artinya kehadirannya dibutuhkan hanya sebagai pelengkap. Hal itu bisa dilihat dari kehadiran perempuan dalam pencalegkan. partai politik menempatkan kaum hawa masuk menjadi Calon Legislatif (Caleg) tidak lebih untuk pemenuhan kuota 30 persen. Dan itulah cerita lama sejak dahulu kala yang sejak dulu sudah terjadi. Faktanya sampai saat ini, perempuan masih dengan berstatus yang sama. Meski diawal perempuan sudah mendapat posisi strategis, namun tetap saja tidak strategis dengan lahirnya putusan MK. Banyak alasan yang menjustifikasi anggapan perempuan hanya sebatas bunga rampai politik. Diantaranya, partai politik masih setengah hati memberikan porsi yang besar bagi keterlibatan perempuan dalam ranah politik. Dan hampir mayoritas parpol memasang para caleg perempuan di nomor urut empat ke bawah, atau istilah lain nomor tak jadi. "Bagi saya, perempuan dalam ranah politik masih saja sebagai bunga rampai," kata F Saragih, S.Ag salah satu caleg DPRD Sumut. Menurutnya banyak indikator yang menjadi pembenaran anggapan perempuan sebagai bunga rampai poltik. Misalkan lemahnya kualitas kaum perempuan, lalu rendahnya kesadaran politik pemilih perempun. Belum lagi kelemahan waktu dan tempat yang itu tidak dimiliki kaum laki-laki. Nah terkadang, kelemahan ini juga yang digunakan partai politik sebagai indikator untuk melihat perempuan sebelah mata di dunia politik. Meskipun dari sisi undang-undang dan hukum, laki-laki dan perempuan itu memiliki hak dan derajat yang sama. Mestinya, porsi 30 persen tidak dipahami secara parsial.Tapi dipahami secara utuh, sehingga caleg perempuan harus betul-betul diapresiasi, seperti caleg laki-laki. Kemudian dimasukkan sebagai caleg, caleg perempuan harus dibekali, diberi pendidikan dan pelatihan atau wawasan yang memadai. Sehingga, ketika diajukan ke KPU, caleg perempuan dalam kondisi siap pakai. Tidak sekadar sebagai bunga rampai. Jika dibanding dengan negara-negara maju, pendidikan perempuan Indonesia masih jauh ketinggalan. Maka ketika ada ketentuan partai-partai politik harus mengajukan caleg perempuan 30%, relatif partai-partai menghadapi kesulitan. Lagi pula tidak semua perempuan terdidik tertarik pada kegiatan politik. Mereka memilih karier di luar bidang politik yang mungkin mereka anggap lebih bermanfaat untuk pengembangan diri dan keluarga. Banyak partai terpaksa 'mencomot' caleg perempuan hanya untuk memenuhi ketentuan undang-undang. Sehingga tidak menjadi persoalan apakah Caleg perempuan itu memenuhi kriteria menjadi member of parliament atau tidak. Mungkin karena pertimbangan tidak semua akan terpilih. Lagi pula yang menentukan terpilih tidaknya adalah suara terbanyak. Justru itupula, anggapan perempuan hanya sebagai bunga rampai politik dan hanya untuk memenuhi kuota 30 persen, suatu penilaian yang tidak berlebihan. Kondisi ini semakin diperparah sikap elite partai politik yang dinilai melakukan diskriminatif terhadap perempuan. Sebagai gambaran, jumlah keterwakilan perempuan di DPR pada 1950 sampai 1955, hanya 9 orang atau 3,8% dari total jumlah 236 anggota. Pada 2004--2009 bertambah menjadi 63 orang, 11,45% dari 545 anggota. Naik menjadi 3 kali dalam kurun waktu sekitar 60 tahun. Lalu pada tahun 2009 ini, jumlah perempuan dalam pencalegkan saja tidak seluruh partai memenuhi kuota 30 persen.(Mursal Harahap)

Tragedi Berdarah DPRD Sumut

Insiden berdarah yang terjadi, Selasa kemarin, saat ribuan massa pendukung Provinsi Tapanuli menggelar unjukrasa dan menewaskan Ketua DPRD Sumut Abdul Azis Angkat, harus diusut hingga tuntas. Kasus ini harus terang dan jelas bagi masyarakat karena bersifat sensitif. Untuk itu, pihak kepolisian harus bergerak cepat dalam menangkap pelaku, aktor intlektual dan apa motivasi dibalik aksi brutal tersebut. "Jika tidak tuntas, dikhawatirkan masyarakat akan bertanya sendiri lalu kemudian menjawab sendiri. Jika jawabannya benar tidak ada persoalan, tapi bila jawaban yang muncul salah, maka dampaknya akan meluas,"kata anggota DPRD Sumut H Fadly Nurzal S.Ag yang juga tokoh muda Sumatera Utara, kemarin pasca unjukrasa massa Protap kemarin. Untuk itu, pihak kepolisian harus mengusut tuntas kasus ini sehingga terang bagi masyarakat. Dampak lain bila kasus ini tidak diusut tuntas, maka ke depan interaksi antara dewan dan masyarakat akan terganggu. Kemudian akan terbentuk opini bahwa gerakan masyarakat dan mahasiswa sangat menakutkan. Dan peristiwa ini juga telah mencoreng dan menciderai gerakan mahasiswa dan masyarakat. Menurut Fadly, hendaknya dipahami bahwa dalam pengambilan keputusan tentu ada mekanisme dan prosedural. Demikian juga DPRD Sumut, terkait desakan untuk melaksanakan paripurna pembentukan Protap juga ada mekanisme dan prosedurnya. Dijelaskanya, sebelumnya sudah ada panitia Kerja (Panja) Protap yang bekerja mengkaji dan menganalisa. Hasil panitia itu, tentu harus disampaikan kepada anggota dewan dalam rapat paripurna. Demikian juga hal panitia Khusus (pansus). Pimpinan Dewan pada posisi ini, sebelum mengambil kebijakan dan keputusan tentu terlebih dahulu mendengarkan hasil-hasil dari Panja dan Pansus. Dan itu harus dijadwal sesuai tata terbit dewan dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Selain itu, lanjut Fadly, jika niat pembentukan Protap adalah untuk kebaikan masyarakat, maka cara menyampaikannya juga harus secara baik. Sebab tidak bisa dicampurkan antara yang baik dengan yang tidak baik. "Ya gak bisa dicapurkan yang baik dengan yang tidak baik,"ucap Fadly. Terkait insiden tersebut,Fadly menurutkan, sebenarnya sosok ketua DPRD Sumut H Abdul Azis Angkat adalah orang yang akomodatif, aspiratif dan tidak ngotot-ngototan. Waktu kejadian itu, setelah pimpinan dewan dan pimpinan Fraksi DPRD Sumut melakukan rapat, hasilnya akan diumumkan bahwa paripurna Protap akan digelar pada hari Rabu (3/2). Tapi karena massa sudah tidak terkendali, sebelum diumumkan mereka memaksa agar paripurna dilakukan hari itu juga. Terkait lemahnya tingkat pengamanan yang dilakukan kepada ketua DPRD Sumut oleh pihak kepolisian. Kata Fadly pengamanan kepada ketua DPRD Sumut sebagai simbol pemerintahan di daerah ini harus dihormati. Termasuk para anggota dewan sebagai wakil rakyat dari seluruh masyarakat di Sumatera Utara. "Mestinya ketika pihak keamanan berupaya mengevakuasi ketua DPRD Sumut, para demonstran harus menghargainya. Bukan malah dipukuli dan cici maki,"imbuhnya. Menyikapi insiden itu, apakah kemudian dewan tidak takut untuk melaksanakan tugas pasca kerusuhan tersebut. Fadly mengatakan tentunya kita khawatir, sebab bisa bercermin dari insiden itu artinya jaminan keamanan bagi anggota dewan sangat minim. Lagipula bagaimana mau melaksanakan tugas, sarana dan fasilitas dewan sudah hancur dirusak. Oleh karena itu, peristiwa ini harus menjadi bahan evaluasi bagi seluruh pihak. Agar ke depan tidak terjadi lagi peristiwa serupa dan hubungan antara masyarakat dan dewan tetap terjadi dengan baik.(Mursal Harahap)