Partai-partai Islam telah menjatuhkan martabat dan karakternya sendiri dengan membiarkan dirinya tercitra oportunis. Pemilu 2009 memang berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Pemilu 2009 lalu menghasilkan gejala politik yang cukup mengejutkan. Partai-partai berakar historis yang kuat tumbang dengan munculnya Partai Demokrat. Partai ini relatif baru dengan mengidentifikasi dirinya sebagai Partainya SBY. Rupanya kekuatan sosok SBY mampu mengalahkan partai-partai yang berakar kuat seperti PDIP atau pun Golkar dalam meraih dukungan politik dari rakyat. Tidak itu saja yang membuat Pemilu 2009 berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Pemilu 2009 meninggalkan jejak politik yang tidak lazim dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Jejak politik yang tidak lazim itu adalah mengaburnya batas-batas ideologi dalam praktik politik oleh partai-partai yang dipandang mempunyai warna ideologi yang kokoh. Pendeknya dapatlah dikatakan, ideologi telah mati dalam Pemilu 2009. Hal ini tampak dalam action koalisi oleh berbagai partai yang dasar platform nya sungguh tidak lazim. Betapa tidak, beberapa partai yang berbeda azas dan visi menyatu dalam satu barisan memenangkan SBY-Budiono. Yang mungkin dapat dipahami adalah koalisi antara Partai Gerindra dengan PDIP. Tetapi sebetulnya koalisi antar dua partai ini pun masih menyisakan pertanyaan : bagaimana mungkin Partai dengan watak dan etos militer yang kuat (Partai Gerindra) dapat bersinergi dengan partai yang bercorak civil society yang kental semacam PDIP? Bahkan Prabowo yang dianggap bermasalah dalam HAM terhadap aktivis-aktivis kiri, kini bergabung dalam PDIP, mungkin tak bisa dapat diterima pikiran banyak orang. Nah, yang paling menarik dari semua gejala ini adalah merengseknya partai-partai berasaskan Islam ke dalam pelukan politik SBY dengan Partai Demokratnya. Secara ideologis-simbolis, penggabungan partai-partai Islam tersebut ke dalam gerbong politik SBY tidak ada sama sekali alasan ideologisnya. Performa SBY yang tidak “seislami” JK, ditambah dengan pilihan pasangannya yang jatuh kepada Budiono yang selama ini tidak dikenal dalam peta politik umat Islam, membuat orang juga tidak habis pikir : atas dasar apa sebenarnya partai-partai Islam ini mendukung pasangan SBY-Budiono? Segera orang akan mengambil kesimpulan, dan tidak ada salahnya terhadap kesimpulan itu, bahwa dasar utama dibalik dukungan resmi partai-partai Islam terhadap pasangan SBY-Budiono lebih pada pertimbangan pragmatis. Kiranya menjadi jelas, action koalisi ini sekedar perkara bagi-bagi pos jabatan. Walhasil partai-partai Islam itu telah menjatuhkan martabat dan karakternya sendiri dengan membiarkan dirinya tercitra oportunis. Yang lebih penting lagi, Pemilu 2009 telah menjadi preseden bagi dinamika pemilu di Indonesia. Memang ada yang mengemukakan alasan bahwa di balik dukungan partai-partai Islam terhadap pasangan SBY-Budiono tersebut adalah dalam angka strategi. Strategi yang mereka maksudkan adalah mengamankan pos-pos kekuasaan agar tidak jatuh kepada tokoh-tokoh anti Islam. Kita bertanya, apa benar? Apakah hanya alasan yang dicari-cari saja untuk menutupi motif sesungguhnya dari elit-elit partai Islam yang memang bernafsu merebut jabatan? Lalu ada lagi yang mengemukakan alasan lain, apabila partai Islam tidak ambil bagian dalam golongan penguasa yang diprediksi akan menang, lalu siapa yang akan mengamankan Islam di Indonesia? Lalu, bagaimana umat Islam jika nantinya tidak mempunyai akses kekuasaan? Bagaimana program-program Islam akan dapat berjalan mulus, jika tidak ada kekuatan politik Islam yang memback up di lingkaran kekuasaan? Pikiran-pikiran semacam ini amat mewarnai action yang dilakukan oleh partai-partai Islam tersebut, dan bahkan menjadi pikiran yang disosialisasikan kepada umat di dalam rangka meredam penolakan massa Muslim terhadap sikap yang telah diambil oleh elit-elit partai Islam tersebut. Menurut hemat saya, paradigma di balik alasan-alasan yang telah dikemukakan di atas tadi masih merefleksikan paradigma dikotomik : Islam versus Non Islam. Tapi anehnya, paradigma semacam itu tidak konsisten dan konsekwen mereka terapkan dalam action koalisinya. Seharusnya jika paradigmanya semacam itu, action koalisinya bergabung ke dalam barisan yang mempunyai unsur dan tujuan politik yang relatif dekat. Saya ingin mengatakan, lebih masuk akal apabila partai-partai Islam itu bergabung ke dalam barisan JK-Wiranto dari pada ke dalam barisan SBY-Budiono. JK-Wiranto jauh lebih dekat secara politik dengan partai-partai Islam ketimbang SBY-Budiono. Tapi masalahnya bukan itu. Soalnya adalah kans kemenangan SBY-Budiono yang incumbent sebagai Presiden jauh lebih besar ketimbang JK-Wiranto. Walhasil tidak lagi bisa ditutup-tutupi kepada umat yang awam sekalipun, bahwa motif dari partai-partai Islam berkoalisi dengan Partai Demokrat lebih pada alasan duniawi, yakni harapan mendapat jatah kekuasaan dan materi. Jika demikian jadinya, masih pantaskah partai-partai itu melandaskan dirinya dengan sesuatu yang sakral, yakni Islam? Partai Islam sejatinya berbeda dengan partai yang berlandaskan pikiran-pikiran kreatif manusia, semacam Pancasila, Sekularisme, Nasionalisme, dst. Partai Islam menuntut pertanggung jawaban tidak saja terhadap umat sebagai konstituen, tetapi juga menuntut validasi kepada teks suci (Al-Quran sebagai sandaran perilaku politik) terhadap setiap perilaku politiknya. Kini setelah waktu berjalan lebih dari setahun sejak pemilu 2009, arah dan eksistensi partai Islam dalam kancah politik semakin pudar. Sekarang ini, sulit untuk membedakan mana sikap politik partai Islam dan bukan partai Islam. Apalagi setelah PKS memastikan diri sebagai partai terbuka sejak Munas ke-2 mereka beberapa bulan yang lalu. Walhasil tentu saja pikiran sehat kita bertanya : masih pentingkah partai Islam di masa depan? (Ditulis Oleh : Syahrul Efendi)
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan sampaikan komentar anda di sini