MEDAN

Nasehat...

.“(Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang dimudahkan terbang diangkasa bebas? Tidak ada yang dapat menahannya selain daripada Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang beriman. (An-Nahl:79") .“(menang dengan mengalah, itulah filsafat air dalam mengarungi kehidupan") .(Guru yang paling besar adalah pengalaman yang kita lewati dan rasakan sendiri) .(HIDUP INI MUDAH, BERSYUKURLAH AGAR LEBIH DIMUDAHKAN ALLAH SWT)

Bismillahirrahmanirrahim

"Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang dimudahkan terbang diangkasa bebas? Tidak ada yang dapat menahannya selain daripada Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang beriman. (An-Nahl:79)

Sabtu, 27 November 2010

Tegakkan UU Jamsostek

Bagi para pekerja, buruh, karyawan atau tenaga kerja, Jaminan Sosial Tenaga Kerja atau Jamsostek sangat didambakan dan diharapkan. Tapi (mungkin) bagi sebagai pengusaha, Jamsostek merupakan momok yang selalu mengganggu kenyamanan dan ketenangan hidup mereka. Sementara, lembaga atau institusi penyelenggara Jamsostek terjebak dalam dilema. Hendak membela pekerja, tapi kewenangan terbatas. Membela pengusaha berarti mengingkari hati nurani. Tujuan dari pembangunan nasional yang dilakukan pemerintah, bangsa dan Negara adalah untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia lahir dan bathin. Cita-cita pembangunan tidak boleh melewati koridor kesejhateraan dan kemakmuran yang merata serta berkeadilan. Karenanya seluruh potensi yang dimiliki bangsa dan Negara ini seutuhnya diupayakan dan dikelola demi merealisasikan kesejahteraan. Atas dasar itu pula, pada pasal 27 ayat (2) UUD 1945 hasil amandemen, secara tegas disebutkan bahwa tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Di pasal 28 ayat (2) juga disebutkan, setiap orang berhak bekerja dan mendapatkan imbalan dan pelakukan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Tentu ketentuan dan amanah konstitusi ini tidak boleh diabaikan oleh siapapun, sebab bila itu dilakukan seseorang atau kelompok sama artinya mereka telah melanggar ketentuan konstitusi. Pertanyaannya, apa yang salah dari program Jamsostek? Kenapa para pengusaha terkesan enggan mengikutkan para tenaga kerjanya masuk program jamsostek? Kemudian, Lembaga Jamsostek tidak mampu berbuat banyak terhadap pengusaha yang melanggar UU Jamsostek? Program Jamsostek Dari sisi program, apa yang sudah diciptakan Jamsostek sesungguhnya tidak ada yang salah. Berbagai program yang diluncurkan terus diperbaharui dari sisi pelayananan, jangkauan dan kemudahan serta akses. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 14 tahun 1993 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2002, adalah Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Pelayanan Kesehatan (JPK), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Kematian (JK). JKK adalah satu program yang memberikan proteksi kepada setiap pekerja yang sudah terdaftar sebagai peserta Jamsostek. Kecelakaan kerja termasuk penyakit akibat kerja merupakan risiko yang harus dihadapi tenaga kerja dalam melakukan pekerjaannya. Guna menanggulangi hilangnya sebagian atau seluruh penghasilan diakibatkan adanya risiko-risiko sosial seperti kematian atau cacat karena kecelakaan kerja, baik fisik maupun mental, maka diperlukan adanya jaminan kecelakaan kerja. JKK akan memberikan kompensasi dan rehabilitasi bagi tenaga kerja yang mengalami kecelakaan pada saat dimulai berangkat bekerja sampai tiba kembali di rumah atau menderita penyakit akibat hubungan kerja. Dengan manfaat yang sangat luar biasa ini, secara otomatis akan memberikan rasa aman dan nyaman bagi setiap tenaga kerja saat melakukan tugas-tugasnya. JPK adalah program Jamsostek yang akan membantu tenaga kerja dan keluarganya mengatasi masalah kesehatan. Mulai dari pencegahan, pelayanan di klinik kesehatan, rumah sakit, kebutuhan alat bantu peningkatan fungsi organ tubuh, dan pengobatan, secara efektif dan efisien. Program ini sesungguhnya memberikan manfaat besar bagi perusahaan dan tenaga kerja. Sebab perusahaan akan memiliki tenaga kerja yang sehat, dapat konsentrasi dalam bekerja sehingga produktif terus meningkat. Manusia tidak selamanya bisa produktif sepajang hidupnya. Bahkan negara sendiri memberikan batasan usia bekerja, misalnya bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang memasuki usia 50-60 tahun sudah harus pensiun. Maknanya, potensi manusia untuk tetap bekerja terbatas. Di sisi lain, ketika berhenti bekerja, kan tidak serta merta kehidupan seseorang langsung berhenti. Dalam rangka memberikan jaminan kehidupan secara ekonomi dan sosial di hari tua, maka perlu dibutuhkan program yang dapat memberikan jaminan tersebut. Melihat hal itu, Jamsostek melahirkan program Jaminan Hari Tua (JHT). JHT merupakan program Jaminan Sosial yang memberikan perlindungan bersifat dasar bagi tenaga kerja. Program yang bertujuan menjamin adanya keamanan dan kepastian terhadap risiko-risiko sosial ekonomi dan merupakan sarana penjamin arus penerimaan penghasilan bagi tenaga kerja dan keluarganya. JK sesungguhnya diperuntukkan bagi ahli waris dari peserta program Jamsostek yang meninggal bukan karena kecelakaan kerja. JK diperlukan sebagai upaya meringankan beban keluarga, baik dalam bentuk biaya pemakaman maupun santunan berupa uang. Program ini sebenarnya sangat mulia dan sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Dalam al-Qur’an, Allah Swt telah mengingatkan manusia agar memperhatikan keturunan atau kaumnnya setelah mereka meninggal. Sindiran ini menujukkan pentingnya memikirkan keluarga dalam melanjutkan kehidupan. Bahkan di kalangan etnis Tapanuli ada prinsif yang kuat dalam memperjuangkan anak-anaknya dengan memberikan bekal yang cukup berupa ilmu pengetahuan atau mungkin harta benda. Secara lugas dapat dikatakan bahwa program JK ini liner dengan kearifan lokal yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Berdasarkan fakta di atas, sesungguhnya tidak ada yang salah dari program Jamsostek. Para pengusaha tidak pada tempatnya alergi mengikutsertakan tenaga kerjanya sebagai peserta Jamsostek, sebab secara hakikatnya, pengusaha dan tenaga kerja mendapat keuntungan bersama dengan kehadiran program Jamsostek. Pengusaha Pengusaha dan tenaga kerja sebenarnya ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Pengusaha sebagai pemilik capital tidak ada artinya tanpa ada orang yang bekerja untuk perusahaan tersebut. Begitu juga tenaga kerja, akan menjadi tidak bermanfaat jika tidak ada lowongan pekerjaan. Dalam prakteknya, dua kelompok ini harus bersinergi dalam merengkuh kepentingan bersama. Pemilik modal mendapatkan keuntungan, tenaga kerja mendapat imbalan yang layak menurut ukuran kemanusiaan. Ketika teori itu dipraktekkan di lapangan, terjadi ketidakseimbangan yang mengirih hati. Pemilik modal jika dibaratkan pada siklus makana, berapa pada posisi pemangsa dan tenaga kerja menjadi targetnya. Kondisi ini tentu tidak terjadi begitu saja. Fakta bahwa pemerintah tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan pada rakyatnya merupakan penyebab utama. Pemerintah belum bisa memberikan jaminan yang utuh bagi rakyatnya yang menjadi tenaga kerja di berbagai bidang usaha. Pembangunan yang dilaksanakan pemerintah belum mampu memenuhi kesejahteraan rakyatnya. Ironisnya lagi sering kali pemerintah mempolitisasi rakyat demi kepentingan diri sendiri, kelompok atau rezimnya. Akibat dari semua itu, posisi tawar pemerintah ketika berhadapan dengan para pemilik modal menjadi sangat rendah. Pemerintah layaknya kerbau dicucuk hidung yang wajib mengikuti keinginan para pengusaha atau pemilik modal. Giliran berikutnya, ketika terjadi ada masalah yang dialami tenaga kerja, pemerintah hanya bisa berkoar-koar tanpa ada tindakan dan kebijakan ril. Faktor lain yang membuat daya tawar pemerintah lemah, karena ketika merebut kekuasaan, para pengusaha selalu dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dana sosialisasi dan kampanye. Dan ketika mendapatkan kekuasaan, maka pemerintah hanya bisa berdiam diri dan sesekali beretorika dengan mengatakan akan ditindaklanjuti. Kondisi yang sama juga terjadi pada legislative yang konon katanya merupakan wakil rakyat. Para legislator itu sudah lebih awal tersandra kebijakan partai politik yang mengusungnya. Sama seperti para pengusaha, partai politik juga seringkali memanfaatkan pundit-pundi dana para pengusaha untuk membiayai partainya. Partai Politik dan penguasa juga menfaatkan pengusaha untuk memobilisasi tenaga kerja yang dimiliki agar memilih mereka. Lingkaran setan inilah yang kemudian menciptakan para pemilik modal menjadi lebih buas dan leluasa menentukan aturan terhadap para tenaga kerjanya. Para pengusaha secara terang-terangan berani membuat kebijakan yang melanggar ketentuan perundang-undangan, terutama terkait jaminan sosial tenaga kerja. Sehingga pemilik modal menjadi lebih ganas sebagai pemangsa tenaga kerja, dan seringkali menggunakan kekuatan pemerintahan dan legislative untuk membendung pemenuhan hak-hak tenaga kerja. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menjadi senjata andalan, meskipun terkadang dibungkus dengan kebijakan me-rumah-kan. Pembanyaran gaji telat dengan alasan perusahaan sedang tidak sehat. Hak cuti, Tunjangan Hari Raya (THR) dan hak-hak lainnya diabaikan juga dengan alasan financial perusahaan sedang drof. Berkaca dari situasi dan kondisi tersebut, sesungguhnya yang terjadi bukan hubungan baik antara pengusaha dan tenaga kerja. Tapi yang terjadi adalah eksploitasi, diskriminasi dan upaya pendzoliman secara sistemik terhadap tenaga kerja. Dan itu semua, langsung atau tidak langsung mendapat ‘restu’ dari pemerintah yang sedang berkuasa akibat kelemahannya menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. Dilema Jamsostek Kehadiran program Jamsostek yang dilengkapi payung hukum, bagi tenaga kerja seperti kedatangan malaikat penolong dari segala duka saat bekerja. Semengat bekerja tenaga kerja langsung meningkat tajam. Seluruh potensi diri, gagasan, ide dan kreatifitas yang mampu dipersemahkan untuk perusahaan tempatnya bekerja dicurahkan sepenuh hati. Bagi pengusaha, kehadiran Jamsostek menjadi ancaman baru yang akan mengurangi jumlah keuntungan. Jamsostek kini menjelma menjadi ‘hantu’ menakutnya yang selalu merasuki pikiran para pengusaha. Karena dengan mengikutsertakan seluruh tenaga kerja yang memenuhi ketentuan sebagai peserta Jamsostek, konsekwensi kucuran dana untuk harus digelontorkan. Pada dua kondisi yang berbeda ini hadir Jamsostek sebagai mediator yang bertujuan memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Segaligus menjadi agen dalam melaksanakan program pemerintah dibidang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN merupakan tonggak sejarah dimulainya reformasi menyeluruh sistem jaminan sosial di Indonesia. Reformasi program jaminan sosial yang berlaku saat ini penting, karena peraturan pelaksanaan yang berlaku masih bersifat parsial dan tumpang tindih. Sehingga manfaat belum optimal dan jangkauan program masih terbatas, serta hanya menyentuh sebagian kecil masyarakat. Di sisi lain pemahaman terhadap UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN (UU SJSN) saat ini masih multi tafsir dan menjadi perdebatan tentang isi dan makna UU tersebut. Belum lagi terdapat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara No. 07/PUU-III/2005 tentang perlu dilakukan penyesuaian peraturan perundang-undangan yang mengatur badan penyelenggara jaminan sosial. Tentunya kondisi ini perlu dibenahi dengan melakukan pemetaan dan harmonisasi peraturan perundang-undangan di bidang yang berkaitan dengan pengimplementasian UU SJSN sehingga dapat terintegrasi dengan baik. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan pembangunan ketenagakerjaan bertujuan memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan. Sehingga merupakan hal penting yang harus diperhatikan, maka perlu adanya suatu perangkat bagi sarana perlindungan dan kepastian hukum bagi tenaga kerja. Kemudian pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional sebagai salah satu pelaksanaan kebijakan pembangunan nasional dalam meningkatkan kesejahteraan secara berkelanjutan, adil dan merata menjangkau seluruh rakyat. Jaminan sosial bagi seluruh rakyat di antaranya diamanatkan dalam pasal 28 H ayat (3) mengenai hak terhadap jaminan sosial dan pasal 34 ayat (2) UUD 1945. Sistem Jaminan Sosial Nasional pada dasarnya merupakan program negara yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melalui program ini, setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun. Salah satu usaha pemerintah untuk menyejahterakan rakyat yaitu diterbitkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), kemudian Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Dengan adanya jaminan bagi pekerja akan memberikan ketenangan dalam bekerja sehingga diharapkan akan meningkatkan produktivitas kerja. Permasalahannya sejauhmana Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2004 tersebut dapat meningkatkan produksitivitas kerja nasional. Pada fase ini, kekuatan Jamsostek sebagai pelaksana tekhnis program Jaminan Sosial di bidang ketenagakerjaan sangat kuat. Dan lahirnya UU No 14 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional menambah daya dobrak Jamsostek untuk menegakkan aturan di bidang ini. Meski diback up sejumlah regulasi dan kebijakan dari pemerintah, toh faktanya Jamsostek belum dilaksanakan secara maksimal dan menyuluruh. Masih banyak tenaga kerja yang belum mendapatkan hak-hak secara utuh. Inilah dilema yang harus dihadapi dan dicarikan jalan keluarnya, tidak hanya oleh lembaga pelaksana Jamsostek, tapi juga pemerintah, pengusaha dan tenaga kerja. Menurut penulis, dengan kekuatan regulasi dan kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah, harus tidak terdengar lagi kasus tenaga kerja yang di PHK secara sepihak, gaji tidak dibayar, dilarang cuti. Tidak ada lagi nyawa yang tersia-siakan karena para pengusaha tidak bertanggungjawab, upah di bawah ketentuan dan persoalan lainnya. Dilema tersebut muncul, karena memang pemerintah masih setengah hari memberikan kewenangan kepada lembaga penyelenggara jaminan sosial ketenagakerjaan. Artinya lembaga seperti Jamsostek tidak memiliki kewenangan untuk melakukan eksekusi ketika pengusaha tidak melaksanakan ketentuan dan amanah konstitusi di bidang tenaga kerja. Jamsostek dengan program mulia hanya dibekali kewenangan kecil, yang hanya bisa menghimbau para pengusaha untuk mengikutsertakan tenaga kerjanya sebagai peserta Jamsostek. Jamsostek tidak diberi hak untuk melaporkan pengusaha nakal ke pihak penegak hukum untuk kemudian ditindaklanjuti ke meja pengadilan. Jamsostek juga tidak punya daya tawar ketika pengusaha tidak menggubris program jaminan sosial tenaga kerja. Karena itu, selama kewenangan yang diberikan kepada lembaga pelaksana jaminan sosial masih sebatas basa basi, maka siapupun lembaga pelaksananya tidak akan mampu berbuat banyak. Dan sebagus dan sebijak apapun regulasi yang dilahirkan juga tidak membawa manfaat luar biasa. Serta bagus apapun sosialisasi yang dilakukan juga tidak akan menggugah hati nurani para pemilik modal yang hanya memikirkan keuntungan pribadinya. Miskipun secara jujur diakui tidak semua pengusaha nakal dan melanggar ketentuan jaminan sosial ketenagakerjaan. Artinya masih ada pengusaha yang secara tegas melaksanakan seluruh aturan yang berlaku. Kalaupun kebaikan mereka itu sirna akibat ulah para pemilik modal yang hanya berkutat memiliki kelangsungan usaha demi raih untung yang lebih banyak. Intinya yang penting dilakukan pemerintah dan seluruh stakeholder yang memiliki kaitan dengan pelaksanaan jaminan sosial menyempurnakan regulasi yang sudah ada. Melakukan pengawasan yang lebih ketat, diiringi pelaksanaan sanksi secara tegas dan transparan. SARAN Berkaca dari dilema di atas, maka penulis menyarakan agar seluruh pemangku kepentingan di bidang ketenagakerjaan dan program Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) harus duduk bersama untuk membahas dan mengkaji regulasi baru yang lebih bersahabat dengan tenaga kerja, pengusaha dan lembaga pelaksananya. Sehingga diharapkan regulasi yang lebih bersahabat itu, dapat dilaksanakan secara maksimal. Selain urung rembuk untuk mencari win-win solution, pemerintah sebagai pembuat regulasi wajib memberikan kewenangan yang lebih besar bagi lembaga pelaksana. Dengan demikian, setiap ada pelanggaran terhadap ketentuan perundang-udangan, maka lembaga tehknis bisa melakukan eksekusi yang berada di luar ranah hukum. Misalkan menjatuhkan sanksi bagi para pengusaha nakal yang mengkebiri hak-hak tenaga kerja, dalam bentuk pelarangan perusahaan tersebut merekrut tenaga kerja dari di Republik Indonesia. Atau lembaga tekhnis memiliki kewenangan untuk mempidanakan aparat penegak hukum yang tidak menindaklanjuti dan atau memproses secara benar laporan atas pelanggaran ketentuan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan dan SJSN. Dengan kewenangan seperti ini, maka lembaga pelaksana jaminan sosial akan memiliki posisi tawar kepada pengusaha nakal dan pengusaha yang tidak mematihu ketetuan peraturan ketenangkerjaan dan jaminan sosial. Selain, para pengusaha juga tidak akan berani mencari-cari alasan demi menggugurkan kewajiban atas jaminan sosial. Termasuk para pekerja juga tidak akan berani melakukan tindakan melawan hukum dan merugikan perusahaan tempat ia bekerja. Hubungan seperti inilah yang diharapkan muncul sehingga pelaksana jaminan sosial dapat keluar dari dilema. Selama belum diberikan kewenangan lebih besar kepada lembaga pelaksana, maka program Jamsostek dan SJNS hanya bagus dalam tataran teoritis tapi jeblok dalam pelaksanaan di lapangan. Selama itu pula, pengusaha akan semakin buas memangsa para tenaga kerja, pemerintah terkukung, tenaga kerja tertindas dan lembaga pelaksana terjebak dilema. Menurut penulis, jika seluruh aturan yang telah ditetapkan dilaksanakan secara utuh dan konsekuen, maka tidak pihak yang akan dirugikan. Akan tercipta rasa aman dan nyaman bagi tenaga kerja sehingga akan meningkatkan kerja. Pada gilirannya tingkat produksi juga akan meningkat disertai tumbuhnya nilai pejualan. Seharusnya tenaga kerja bagi pengusaha adalah asset yang harus dijaga, dirawat dan dipelihara dengan baik. Sehingga nilai asset tersebut dari tahun ke tahun terus meningkat. Disisi lain, jika tenaga kerja merasa nyama, terjamin kesehatan dan hari tuanya, maka tenaga kerja tersebut tidak berbuat hal yang merugikan perusahaan. Bahkan tanpa diminta tenaga kerja akan ikut serta menjaga agar perusahaan tersebut tetap beroperasi. Bila itu sudah berjalan, maka lembaga pelaksana juga tidak perlu menggunakan kewenangan yang dimilikinya. Lembaga tersebut benar-benar akan memposisikan diri sebagai mediator guna menciptakan keuntungan bersama antara pengusaha dan tenaga kerja. Semoga, Wallohu a’lam bisawaf. (Tulisan ini akan diikutsertakan pada lomba karya tulis dalam rangka memperingati Ulang Tahun ke-33 Jamsostek) Oleh : Mursal Harahap, S.Ag (Redaktur Koran Korupsi Politik Kiriminal Pos/KPK Pos)

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan sampaikan komentar anda di sini