Institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri), merupakan bagian integral dari pemerintahan yang memiliki tugas di bidang pengamanan, pengayoman, perlindungan dan penegakan hukum. Dalam catata sejarah, awalnya Polri merupakan bagian dari Angkatan Bersenjata Republi Indonesia (ABRI). Namun sejak 1 April 1999, Polri secara resmi dipisahkan dari ABRI dan menjadi institusi mandiri. Kemandirian Polri juga salah satu tuntutan dari proses reformasi, yang mengharapkan Polri sebagai abdi negara akan lebih profesional menuju perubahan tatanan kehidupan masyarakat yang demokratis, aman, tertib dan adil. Pasca dipisahkan dari ABRI, Polri memiliki tugas pokok dan fungsi (tufoksi) di bidang pemeriharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat (sesuai pasal 2 UU No tahun 2002 tentang Polri). Jika dikomparasikan antara tufoksi Polri dan fakta yang terjadi selama ini, sesungguhnya kehadiran polisi di tengah-tengah masyarakat belum seperti yang diharapkan. Menurut penilaian banyak pihak, dari empat tufoksi yang diemban polisi, bahwa porsi terbesar yang dilaksanakan adalah dibidang penegakan hukum dan menjaga ketertiban masyarakat. Sementara bidang pelayanan dan pengayoman masyarakat masih terasa jauh dari apa yang diinginkan. Memang harus diakui dalam melaksanakan tufoksinya, Polri terus berbenah. Hal itu dibuktikan dengan dilakukannya reformasi di tubuh Polir dengan lahirnya paradigma baru. Dengan landasan paradigma baru tersebut, saat ini Polri dalam melaksanakan tufoksinya berorientasi kepada pemecahan masalah-masalah masyarakat (problem solver oriented), berbasis pada potensi-potensi sumber daya local, kedekatan dengan masyarakat yang lebih manusiawi (humanistic approach). Namun bila bercermin dengan apa yang dilakukan polisi dalam menangani permasalahan di masyarakat, dapat dikatakan niat baik untuk mereformasi diri dengan paradigma baru hanya indah di atas kertas dalam artian hanya sebatas konseptual belaka. Beberapa kasus yang menyita perhatian public di tahun 2011 misalnya, telah memberikan gambaran yang jelas, betapa Polri masih perlu bekerja keras memperbaiki kinerjanya. Katakannya kasus di Papua, kemudian Mesuji Lampung dan terakhir kasus penanganan aksi demo warga di Pelabuhan Sape, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Kasus di Papua yang terkait penanganan aksi warga yang memprotes perusahaan tambang emas Freeport. Terhembus kabar bahwa Polri ternyata mendapat ‘santunan’ dana dari perusahaan milik negara adi daya tersebut. Begitu juga kasus di Mesuji Lampung yang kuat dugaan polisi mengambil posisi bersanding dengan pemilik capital, bukan dipihak masyarakat yang harus diayomi dan dilindungi. Selanjut kasus penanganan aksi demo di Pelabuhan Sape, Polri dituding melakukan pelanggaran berat. Bahkan wakil rakat di DPR RI menyebut Polri telah membohongi public seperti disampaikan Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin. Hasanuddin menilai kepolisian melakukan pembohongan publik dalam kasus pembubaran massa di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat. Dibagian lain Komnas HAM menyatakan tindakan represif yang dilakukan aparat kepolisian dalam pembubaran paksa blokade warga di Pelabuhan Sape, tidak sesuai dengan prosedur tetap (protap). Tindakan itu dinilai berlebihan untuk membubarkan blokade massa. Padahal dalam menggunakan kekuatan, kepolisian harus melalui enam tahapan. Yakni pencegahan, perintah lisan, kendali tangan kosong lunak, kendali tangan kosong keras, kendali senjata tumpul, senjata kimia (gas air mata, semprotan cabe) dan terakhir kendali dengan senjata api. "Aparat kepolisian tidak melakukan tahapan ketiga sampai dengan tahap kelima, tetapi langsung lompat ke tahapan keenam," kata Wakil Ketua Komnas HAM, Ridha Saleh. Ketiga kasus tersebut merupakan gambaran sederhana bagaimana Polri melaksanakan tufoksinya. Itu belum lagi teliti secara mendalam, seperti apa Polri melaksanakan tugas ditingkat bawah, seperti di tingkat Polsek dan Polres yang berhubungan langsung dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Ada lelucon klise yang mungkin mengandung kebenaran menyebutkan : “Jika hilang kambing lalu lapor polisi, maka kelak akan kehilangan kerbau”. Polisi Humanis Defenisi sederhana humanis adalah orang yang mendambakan dan memperjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik, berdasarkan asas perikemanusiaan, pengabdi kepentingan sesama umat manusia. Dari defenisi itu dapat dipahami, bahwa polisi harus menjadi orang yang lebih baik dan memperjuangkan kebaikan berasaskan prikemanusiaan. Sejalan dengan tufoksi kepolisian sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat, setidaknya Polisi satu langkah lebih maju dari masyarakat yang dilayaninya. Sebab bagaimana akan mengayomi, melindungi dan melayani jika dibelakang, sejajarpun akan sulit melaksanakannya. Tatkala keberadaan Polisi yang humanis, santun, cerdas, profesional, bermoral, patuh hukum dan modern bisa menjadi kenyataan seperti diidamkan masyarakat. Keberadaan Polisi akan menjadi ikon kecepatan, kedekatan dan persahabatan. Kehadirannya benar-benar dirasakan manfaatnya, mampu memanusiakan warga masyarakat yang dilayaninya, sehingga keberadaan Polisi diterima dan mendapat dukungan serta legitimasi dari masyarakat. Selain itu untuk melahirkan polisi yang humanis, polisi benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat sehingga merasakan deyut nadi kehidupan masyarakat. Dengan interaksi yang terus menerus, dinyakini polisi dan masyarakat dapat bekerjasama menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan. Bahkan dapat dipastikan, dengan langkah tersebut, polisi di mata masyarakat bukan lagi sosok yang garang, menyeramkan dan menakutkan. Tapi merupakan sahabat terbaik yang kehadirannya selalu memberikan ketenangan. Sebagai gambaran, di Jepang misalnya, polisi benar-benar dianggap sebagai sahabat sejati masyarakat. Sikap-sikap humanis yang diterapkan jajaran kepolisian membuat masyarakat cenderung mematuhi perintah seorang anggota polisi. Akibatnya, bagi masyarakat Jepang, ditangkap oleh polisi adalah pengalaman yang memalukan. Polisi Jepang lebih bersikap sebagai juru rawat yang senantiasa mengayomi dan membimbing masyarakatnya. Polisi Jepang sendiri kerap melakukan kunjungan rutin ke rumah-rumah masyarakat yang berada di wilayah binaannya. Selain bersilaturahmi, para polisi itu juga menanyakan aktivitas pemilik rumah yang dikunjunginya. Interaksi yang humanis inilah yang menanamkan nilai-nilai persahabatan antara masyarakat dan polisi. Di tahun baru 2012 ini, salah satu resolusi yang diharapkan terwujud adalah terciptanya polisi Indonesia menjadi polisi yang humanis, sahabat sejati masyarakat. Amin. (***)
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan sampaikan komentar anda di sini