Hadirnya calon perseorangan pada pelaksanaan suksesi pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, memberi corak tersendiri dalam panggung politik dan demokrasi. Betapa tidak, kehadiran para calon perseorangan menjadi pilihan alternatif yang dalam penilaian masyarakat lebih tepat untuk dipilih. Selain itu dinamika politik pada setiap pelaksanaan pilkada juga saat terasa begitu dinamis dengan situasi yang cepat berubah.
Kondisi ini didukung kegerahan dan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik dan calon yang diusung. Faktornya, karena memang seringkali partai politik tidak konsisten dengan janji dan komitmen perjuangan yang diselalu didengungkan. Bahkan seringkali partai politik berkoar-koar mengatasnamakan rakyat, tapi pada kenyataannya mereka hanya mementingkan kelompok dan pribadi.
Faktor lain, selama ini masyarakat tidak memiliki pilihan alternatif selain menu yang disuguhkan partai politik. Sehingga, ketika kran untuk calon perseorangan dibuka seluas-luasnya, langsung mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Sambutan itu dinilai banyak kalangan wajar, dikarenakan selama ini terjadi sumbatan-sumbatan aspirasi politik masyarakat dan dengan hadirnya calon perseorangan, paling tidak menurut masyarakat aspirasinya sudah berjalan lancar yang dialirkan pada calon perseorangan.
Lalu, seperti apa peluang antara calon yang diusung partai politik dengan calon jalur perseorangan dalam pesta pilkada. Akan, gairah kehadiran calon perseorangan akan diikuti trand dipilih masyarakat, atau mungkin belum sepenuhnya masyarakat menyalurkan aspirasi politiknya ke calon perseorangan?
Calon parpol
Calon yang diusung partai politik atau gabungan partai politik tentu sudah memiliki jaringan hingga ke lapisan masyarakat terendah melalui struktur kepartaian. Mulai dari Pimpinan Ranting, Pimpinan Anak Cabang dan Pimpinan Cabang. Idealnya, pasangan calon yang diusung partai politik sejak awal sudah memiliki suara dan basis dukungan, mulai dari kader partai hingga simpatisan partai.
Kelengkapan jaringan ini tentu menjadi keuntungan dan memudahkan pasangan calon dalam melakukan sosialisasi di tengah-tengah masyarakat, termasuk tersedianya sumber daya yang cukup untuk bergerak meraih simpatik masyarakat. Kemudian pasangan calon yang diusung partai politik memiliki dukungan yang ril di legislatif, kekuatan ini sama pentingnya dalam rangka mendukung dan mengawal pelaksanaan seluruh kebijakan pemerintah.
Meskipun harus diakui, bahwa ada beberapa kelemahan yang dimiliki pasangan calon dari partai politik. Di antaranya, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik yang terus mengalami degradasi. Lalu, pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa kinerja kader atau tokoh yang diusung parpol terkesan selalu mendahulukan kepentingan partai pengusungn dari pada kepetingan masyarakat.
Meskipun telah memiliki jaringan hingga ke bawah dan punya sumber daya yang memadai, instrument ini tidak menjadi jaminan mesin politik berjalan maksimal. Justru yang seringkali terjadi, ketika calon yang diusung parpol atau gabungan partai politik tidak berasal dari kader sendiri, mesin partai tidak bekerja maksimal. Situasi ini diperparah saat pengambilan keputusan ditingkat partai terkait pasangan calon yang akan diusung, kader dan fungsionaris partai seringkali diabaikan dan tidak dilibatkan. Artinya, kader dan simpatisan dipaksa menerima keputusan pimpinan partai dengan perintah harus dimenangkan.
Calon Perseorangan
Bila calon yang diusung partai politik dari awal sudah memiliki instrument berupa jaringan dan sumber daya. Maka calon perseorangan kebalikannya artinya seluruhnya dipersiapkan dari titik awal. Mulai dari pencarian dukungan foto copy KTP dan tandatangan persetujuan mendukung hingga menyiapkan perangkat yang akan dipergunakan untuk memenangkan pilkada.
Faktor lain, proses pencalonan perseorang lebih ribet dari calon partai politik. Sebab calon perseorangan dapat mendaftar harus terlebih dahulu menyiapkan dukungan masyarakat yang dibuktikan dengan foto copy KTP dan surat pernyataan dukungan. Jumlahnya sesuai aturan perundang-undangan 3 persen dari jumlah penduduk atau sekitar 81 ribu lebih untuk daerah Kota Medan yang berpenduduk 2 juta lebih. Dukungan itu juga harus tersebar diminimal ½ N + 1 dari jumlah kecamatan yang ada. Untuk proses ini, para calon perseorangan membutuhkan tenaga dan dana yang tidak sedikit. Meskipun tidak jauh beda dengan pasangan calon yang diusung partai politik yang juga harus membayar ‘sampan politik’. Artinya pada tahap pengumpulan dukungan, pasangan calon perseorangan sudah menghabiskan banyak energi dan dana.
Lalu dari sisi sumber daya, calon perseorangan belum memiliki dan harus disiapkan orang-orangnya. Membentuk tim sosialisasi, penggalangan simpati warga, kampanye hingga menyiapkan saksi-saksi di Tempat Pemungutan Suara (TPS) dari tingkat PPS, PPK hingga KPU.
Berikutnya, jika pasangan calon perseorangan memenangkan pilkada akan berhadapan dengan para anggota legislatif. Sebab calon perseorangan tidak memiliki wakil di dewan, dan untuk itu harus mampu menyakinkan dewan terkait kebijakan dan program pembangunan yang akan dilakukan. Jika tidak, bisa dipastikan akan ada ‘perlawanan’ dari dewan, sehingga opini yang terbangun sesungguhnya calon perseorangan tidak mampu memimpin dengan baik.
Masyarakat yang terlanjut under estimate pada calon partai politik, ini jadi peluang besar bagi calon perseorangan untuk memenangkan pilkada. Termasuk kejenuhan masyarakat pada partai politik serta harapan akan perubahan kearah lebih baik mendorong masyarakat mencari pilihan alternative, dan itu tersedia di calon perseorangan.
Dari sisi ketergantungan dan tekanan politik, calon perseorangan dapat dikatakan relative kecil. Sebab calon perseorangan tidak memiliki intres kepentingan pada partai politik dan kelompok lainnya. Praktis secara teori, calon perseorangan hanya memiliki kepentingan pada masyarakat. Kekuatan inilah yang kemudian membuat masyarakat memiliki harapan akan perubahan kehidupan lebih baik jika pemimpinnya tidak dari partai politik. Meskipun tidak ada jaminan calon perseorangan akan lebih baik dari calon yang diusung partai politik.
Intinya persaingan antara calon perseorangan dan calon partai politik merebut tahta kekuasaan sangat ditentukan pola pikir, wawasan dan pemahaman politik masyarakat. Namun calon perseorangan lebih diuntungkan atas situasi politik, sebab masyarakat terlanjur terluka akibat ulah dan tingkah polah elit dan pengurus partai politik.
Belum lagi, dagelan politik yang dipertontonkan para wakil rakyat diseluruh tingkatan, menambah muak masyarakat untuk bersinggungan dengan partai politik. Perkataan para politisi seringkali kali tidak sejalan dengan aplikasi nyata dalam kehidupan,ditambah lagi berubahnya gaya hidup dan cara bergaul. Intilah lupa kacang pada kulitnya, mungkin sangat tepat dijadikan tamsilan dari para wakil rakyat.
Data yang ada, dari sejumlah suksesi kepemimpinan baik provinsi maupun kabupaten kota, ada yang dimenangkan calon partai politik dan ada juga yang dimenangkan calon perseorangan. Dua jalur pencalonan ini sama-sama memiliki kans menang, tergantung seperti apa masyarakat menyikapinya. (Penulis adalah Redaktur KPK Pos, di Medan).