Di setiap pelaksanaan pesta demokrasi, mulai dari pemilihan Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota, Gubernur/Wakil Gubernur, hingga pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta pemilihan Legislatif, hiruk pikuk dan dinamika politik sudah menjadi menu utama. Anehnya persoalan yang muncul ke pemurkaan juga tidak beda, mulai dari tahapan yang dikritisi, egoisme lembaga terkait, kecurangan hingga kampanye hitam dan politik uang.
Termasuk suguhan kompromi politik, atrobatik yang terkesan nekat hingga saling jatuh menjatuhkan lewat penyebaran fitnah. Fakta ini tentu memunculkan pertanyaan besar bagi masyarakat, untuk apa mereka melakukan itu? Demi memperjuangkan kepentingan rakyat atau hanya sekedar meraih kekuasaan?
Jika pertanyaan ini dilontarkan pada masyarakat, isyarat yang diperoleh kebanyakan menjawab hiruk pikuk politik itu tidak lebih untuk mendapatkan kekuasaan, bukan untuk memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.
Fonomena ini juga yang mengkin sejumlah tokoh terangsang birahi politik untuk ikut bertarung memperebutkan kekuasaan di eksekutif. Seperti halnya yang terjadi di Pilkada Kota Medan. Menurut catatan sejarah, mungkin baru pada pilkada tahun 2010 ini pasangan calon terbanyak.
Dari sisi tujuan berpolitik untuk meraih kekuasaan fakta ini tentu tidaklah mengherankan. Tapi kalau merujuk pada pelaksanaan demokrasi dalam rangka memilih pemimpin terbaik yang diharapkan mampu mengangkat kesejahteraan masyarakat, tentunya ini sangat tidak sejalan. Apalagi, kasak-kusuk perebutan kekuasaan seringkali para pemain politik tidak mengindahkan etika dan moralitas berpolitik.
Secara maknawi, politik berarti kegiatan dalam negara untuk mengurus kesejahteraan warga negara. Dalam pengertian lebih luas politik harus mengacu pada perwujudan hak-hak seseorag sebagai warga negara. Atau dengan kata lain, politik bertujuan mengembangkan demokrasi dengan mewujudkan hak-hak dan melaksanakan tanggungjawab sebagai warga negara.
Justru itu politik yang benar adalah mampu membebaskan, memerdekakan manusia dari segala bentuk penindasan, kekerasan politik, pemerasan, pemerkosaan, manipulasi, ketidakadilan, kebodohan dan kemiskinan dalam kehidupan bersama. Ketika pemahaman ini bergeser, maka yang terjadi pemaknaan praktek politik menjadi tidak beretikan dan bermoral.
Politik akan didagangkan untuk kepentingan elit atau kelompok, penguasa atau orang berduit. Artinya politik akan mengalir dan bergerak sesuai keingian orang yang memiliki kepentingan di dalamnya, termasuk penguasa. Pada posisi seperti ini, maka adalah tidak mengherankan jika politik dijadikan sebagai ajang untuk merebut kekuasaan, kedudukan, status sosial serta harta benda.
***
Berdasarkan fakta-fakta, wajar saja kalau pendidikan dan pendewasaan berpolitik di tengah-tengah masyarakat, terasa lambat. Sebab apa yang disuguhkan elit politik dan penguasa seringkali seringkali bertolak belakang dengan apa yang diharapkan masyarakat. Masyarakat yang sudah memiliki niat baik belajar dewasa dalam mensikapi politk, justru dikotori dengan sikap, perbuatan dan perkataan yang dilontarkan para politisi.
Atas nama kepentingan terkadang budaya ketimuran yang dimiliki bangsa ini hilang tak berbekas, etika dan moral ditinggalkan bahkan tanggungjawab sebagai warga negara yang baik juga tidak diperdulikan. Logika sederhanya, jika itulah prilaku para politisi dan dan tokoh yang ingin merebut kekuasaan eksekutif, tentu harapan bahwa seluruh potensi yang dimilikinya akan digunakan dan dikerahkan demi mensejahterakan masyarakat, adalah hal yang sumir. Ibarat pepatah juah panggang dari api.
Kebosanan masyarakat terhadap elit politik seakan terobati dengan munculnya regulasi yang memberi ruang pada putra terbaik bangsa untuk ikut bertarung merebut kekuasaan di eksekuti – dalam konteks pemilihan kepala daerah- dan memunculkan harapan baru. Tapi lagi-lagi, masyarakat harus kembali kecewa, sebab prilaku yang ditunjukkan para tokoh itu tidak jauh beda dengan apa yang diperankan para politsi.
Pemenuhan persyaratan dukungan masyarakat misalnya, dimana terjadi pencaplokan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan dugaan pemalsuan tandatangan warga menjadi noda hitam jalur perseorangan. Lagi-lagi upaya menghalalkan semua cara dilakukan demi meraih kekuasaan di eksekutif.
Bahkan dibukanya ruang bagi calon perseorangan membuat pertarungan semakin tajam, bahkan ironisnya pelajaran yang diterima masyarakat jauh dari yang namanya pendidikan politik yang baik. Realisasi sosial dan politikpun menjadi rancu, tanpa adanya menyatukan problema kebangsaan dan kerakyatan yang kelihatannya makin parah, begitu layar panggung politik ditutup.
Anehnya lagi, pernyataan elite seringkali tak produktif dan membuat masyarakat tidak mengerti. Padahal sesungguhnya sasaran utama pernyataan elit politik itu adalah masyarakat. Karena itu awajar saja kalau kemudian masyarakat dihantaui keraguan. Kalau keraguan ini kemudian berkembang, maka situasi saling tak percaya di antara kelompok warga, dan ketidakpercayaan warga atas pernyataan elite bisa saja berakhir pada kekerasan publik.
Politik sebenarnya menjadi permainan cantik tentang usaha mencapai kompromi untuk tujuan bersama, bukan sebaliknya berubah menjadi adu kekuatan. Politik yang seharusnya sebagai permainan menyakinkan banyak pihak, bukan melakukan tindakan yang mendatangkan tirani.
Karena itu, tiap pihak dan kekuatan politik perlu menyadari bahwa kebaikan dan kebenaran politik adalah yang didukung mayoritas dan saling menguntungkan banyak pihak. Pihak yang gagal misalnya, harus menerima risiko kehilangan jabatan dan kedudukan politiknya, dan tidak perlu merasa kalah atau malu.
Untuk pihak yang lain jangan tergoda oleh tawaran kekuasaan dengan cara percaturan politik kotor. Dari sinilah kita baru bisa membangun kesadaran dan nilai kebersamaan sebagai rujukan penyelesaian masalah dan kepentingan yang berbeda, menuju keharmonisan kehidupan bermasyarakat.