Meski pembahasan revisi UU Pemilu masih lama, namun wacana penyederhanaan partai politik (parpol) sudah ramai dibicarakan. Untuk membatasi tumbuhnya parpol yang hanya meramaikan pemilu tetapi tidak mendapatkan suara, diusulkan batas ambang minimal atau Parliamentary Treshold (PT) minimal 5 persen.
Pada UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu, pasal 202 disebutkan parpol yang berhak diikutsertakan dalam perhitungan suara untuk meraih kursi di DPR RI harus mencapai batas ambang minimal suara nasional 2,5 persen. Hasil pemilu 2009 silam dari 34 yang mampu memenuhi batas ambang minimal (Parlementary Treshold/PT) 2,5 persen perolehan suara, hanya 9 parpol. Yaitu Demokrat, Golkar, PDIP, PKS, PPP, PAN, PKB, Hanura dan Gerindra.
Fakta ini menunjukkan sebagian besar parpol tidak mampu meraih batas ambang minimal 2,5 persen. Sebab itu parpol tersebut tidak berhak ikut dalam pembagian 560 kursi DPR RI. Meskipun ada calon legislatif dari parpol itu yang berhasil memenuhi quota Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) di daerah pemilihannya.
Konsekwensi lain dari pemberlakuan PT, aspirasi politik warga yang disalurkan kepada caleg dari partai yang tidak berhasil memenuhi PT 2,5 persen menjadi sia-sia alias mubadzir. Bahkan angka hak politik yang jadi sia-sia itu bisa menyamai angka golput atau mungkin melebihi. Ketentuan itu juga menimbulkan kekecewaan bahkan mendorong pelemahan peran serta masyarakat dalam menggunakan hak pilih di berbagai pesta demokrasi.
Role of the game ini juga membuat masyarakat bertambah muak, bosan serta tidak peduli. Kondisi itu diperparah, sikap anggota dewan terpilih disetiap tingkatan tidak menunaikan janji politiknya. Termasuk para pemimpin pemerintahan, mulai dari presiden dan wakil presiden dan kepala daerah di provinsi dan Kabupaten Kota.
***
Pada pemahasan rancangan undang-undang (RUU) pemilu tahun 2014, muncul wacana peningkatakan Parmentary Treshold menjadi 5 persen. Peningkatakan PT 5 persen, sebagain berpendapat dalam rangka penyederhaan parpol di Indonesia. Karena memang jumlah parpol peserta pemilu diniali masih terlalu gemuk. Seperti di 2009 silam, parpol peserta pemilu berjumlah 34 secara nasional.
Selain argumentasi penyederhaan jumlah parpol, wacana PT 5 persen mengajukan alasan peningkatkan kualitas dan menjaga kestabilan sistem pemilu. Bahwa banyaknya parpol peserta pemilu diyakini membingungkan masyarakat dalam menentukan pilihan. Sebab tidak mengetahui visi misi serta minimnya sosialiasasi.
Kemudian, peningkatakan angka PT 5 persen ini juga untuk menjaga stabilitas sistem pemilu. Selama ini, tidak ada peraturan baku yang dijadikan sistem penyelenggaraan pemilu. Setiap pemilu punya undang-undang sendiri, sistem sendiri dan mekanisme sendiri. Contoh kecil, cara pemberian suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS), pola juga berubah-ubah. Mulai dari mencoblos, mencontreng, coblos lagi dan lain sebagainya.
Atas berbagai argumentasi itu, kalangan pendukung peningkatakn PT mengajukan angka 5 persen. Dengan PT 5 persen, maka jumlah parpol akan ideal dan sistem tetap terjaga serta telah memenuhi representasi keterwakilan masyarakat. Bahkan menurut pengamat, dengan kenaikan PT, eksistensi parpol akan terjawab.
Apakah masih dimintai masyarakat, berkualitas atau tidak akan ketahuan. Artinya PT 5 persen, dinilai layak dipertimbangkan demi mendorong parpol lebih berkualitas. Karena itu tidak heran, kecendrungan parpol besar mengarah pada dukungan PT diposisi 5 persen.
Pada sisi lain, parpol kecil lebih memilih menolak. Kelompok ini juga memajukan berbagai alasan, misalkan melihat PT 5 persen dari sisi hak azasi dan demokrasi? Jika kemudian format PT ditetapkan 5 persen, itu sama saja pembunuhan aspirasi politik warga negara. Bertendangan dengan UUD 1945 yang menjamin adanya kebebasan berbicara, berkumpul, berserikat dan berpolitik.
Alasan lain adalah PT 2,5 persen saja, suara politik warga Negara banyak yang mubadzir. Apalagi jika ditingkatkan ke level 5 persen, tentu akan semakin banyak suara politik warga negara yang terbuang percuma. Dan sebenarnya tidak ada jaminan DPR lebih berkualitas, sistem lebih stabil hanya dengan PT 5 persen.
Selain itu, disinyalir ada niat lain dibalik pengusulan PT 5 persen. Semangat parpol besar mendukung PT 5 persen, mungkin ada kaitannya memberangus parpol kecil agar tidak ikut berkompetisi di 2014. Dengan demikian peluang untuk kembali menjadi pemenang sangat besar karena parpol kecil sudah tidak lagi ikut.
Bahkan tidak tertutup kemungkinan, PT 5 persen sengaja digelontorkan untuk menghabisi parpol berazaskan islam dan parpol berbasis islam. Praduga ini memiliki kolerasi dengan hasil perolehan saura parpol islam pada pemilu 2009 silam yang tidak satupun masuk 3 besar. Kalau kemudian PT 5 persen disepakati, diprediksi parpol islam akan tumbang karena tidak sanggup memenuhi perolehan suara 5 persen secara nasional.
Fakta pada pemilu 2009 silam deng PT 2,5 persen, beberapa parpol berazas dan berbasil islam terlempar dari parlement, seperti PBB, PBR dan lainnya. Untuk itu, tokoh parpol islam, ormas, OKP, pemikir, peneliti dan ummat Islam perlu melakukan kajian konprehensif atas wacana peningkatakan angka Parlementary Treshold.
***
Terlepas dari pro dan kontra atas wacana peningkatan PT 5 persen, sesungguhnya itu tidak berimplikasi langsung pada masyarakat. Jika ditanyakan apakah untung ruginya bagi rakyat bila PT menjadi 5 persen atau tetap 2,5 persen?
Bagi rakyat hal itu tidak begitu penting, apakah PT 5 persen, 10 persen, bahkan 75 persen atau 100 persen sekali pun. Sebab realitanya selama ini, rakyat belum merasakan manfaat atas keberadaan parpol, termasuk presiden dan wakil presiden yang dicalonkan parpol serta dipilih secara langsung rakyat.
Justru rakyat sering dibuat kecewa oknum-oknum dari parpol yang kemudian menjadi anggota dewan. Meskipun mereka disebut wakil rakyat, tetapi prakteknya jarang sekali berpihak pada rakyat. Apalagi memperjuangkan aspirasi rakyat. Termasuk calon-calon yang diajukan parpol di eksekutif. Tidak sedikit dari mereka yang mengingkari janji politik, menindas dan ‘membunuh’ rakyat dengan kebijakan dan peraturan.
Subsidi minyak tanah dicabut, lalu dikonversi ke gas. Tapi kini, gas menjadi teroris nomor wahid, setiap saat meledak dan mengambil korban. Anehnya pemerintah meresponnya hanya dengan berjanji kan memperbaiki. Padahal sudah puluhan nyawa melayang, ratusan milyar kerugian yang harus dutanggung rakyat.
Disisi lain, anggota legislatif, mulai dari DPR RI DPRD Provinsi dan Kabupaten Kota, sering kali bolos kerja. Sedihnya saat membahas kepentingan rakyat, anggota dewan ogah-ogahan. Tapi menghabiskan anggaran atau duit rakyat dengan dalih kunjungan kerja ke luar kota, selalu hadir.
Dalam hati mereka, plesiran keluar kota dibiayai negara, tak pastan dilewatkan. Atas dasar itu, berapapun angka PT tidak menjadi persoalan bagi rakyat. Apakah bertujuan menyederhanakan atau memberangus parpol, rakyat tidak mau tau. Wallahu A’lam Bissawab.(Mursal Harahap, S.Ag, aktivis Forum Indonesia Muda-FIM)