PPP ibarat rumah besar, Generasi Muda Pembangunan Indonesia (GMPI) menempati satu ruang di rumah besar tersebut. Meskipun keberadaan GMPI – sebelum Muktamar VII di Bandung – seumpama ‘kain buruk’ (dalam istilah Sumatera Utara) dicari dan dibutuhkan pada momen tertentu saja. Artinya keberadaan dan posisi GMPI di rumah besar tersebut tidak terlalu diperhitungkan. Namun Muktamar VII PPP di Kota Bandung membawa angin harapan dan perubahan besar. Karena pada Muktamar itu, posisi GMPI dan tiga sayap partai PPP lain mendapat pengakuan sah dan legal dari PPP. Hal itu dibuktikan, dengan lahirnya kesepakatan yang tertuang dalam perubahan AD/ART, bahwa sayap partai memiliki hak suara sama dengan PPP pada pengambilan keputusan sesuai tingkatan masing-masing. Perubahan besar ini, tentu harus disikapi dan dimaknai kader GMPI di seluruh Indonesia secara bijak, bahwa dengan adanya kesamaan hak antara GMPI dan PPP dalam ruang lingkup pengambilan keputusan, maka ke depan kader GMPI juga punya tanggungjawab yang sama pula terhadap kebesaran dan kemajuan PPP. Menurut penulis beberapa langkah strategis yang harus dilakukan GMPI pasca pemberian hak suara pada Muktamar VII PPP d Bandung. di antaranya harus berani melakukan terobosan besar dengan cara mengubah mindset, bahwa posisi dan keberadaan GMPI ke depan sama pentingnya dengan posisi dan keberadaan pengurus PPP. kemudian mengubah pola kerja dan pola rekruitmen kader. Untuk merealisasikan perubahan tersebut memang tidak bisa seperti makan sambal, makan langsung terasa pedasnya. Butuh waktu dan proses panjang untuk mewujudkannya, namun jika tidak dimulai dari sekarang, perubahan itu hanya akan menjadi konsep di atas kertas. Mengubah Mindset Perubahan mindset atau pola pikir kader-kader GMPI, ke depan mutlak harus dilakukan. Bahkan jika dibutuhkan untuk mewujudkan perubahan itu, GMPI harus berani melakukan langkah yang tidak populis dengan merestrukturisasi atau mereposisi fungsionaris yang ada saat ini. Upaya ini dilakukan dalam rangka menciptakan kesatuan pola pikir bahwa saat ini GMPI punya tangggungjawab besar atas maju mundurnya PPP ke depan. Seluruh kader GMPI harus memahami bahwa dengan diberikannya hak suara, tentu inklud di dalamnya tanggungjawab dan kewajiban yang harus dilaksanakan sebaik-baiknya. Dalam benak seluruh pengurus GMPI, tidak boleh lagi muncul pemikiran bahwa organisasi sayap partai hanya dibutuhkan saat tertentu saja. Organisasi sayap partai hanya pelengkap penderita, pekerja dan ‘umpan peluru’. Oleh karena itulah, mulai dari Pimpinan Pusat hingga Pimpinan Ranting GMPI harus melakukan berbenagh dengan melakukan perubahan mindset dalam menjalankan roda organisasi GMPI. Jika tidak ada upaya dan dorongan ke arah perubahan mindset tersebut, maka perjuangan para muktamirin di Muktamar VII PPP, agar sayap partai mendapatkan hak suara akan menjadi sia-sia. Selian itu, alasan pentingnya dilakukan perubahan pola pikir adalah untuk membangun sense of belonging dan sense of krisis terhadap kondisi PPP saat ini. Bahwa PPP secara perolehan suara kecendrungannya terus menurun, dan itu wajib menjadi perhatian serius dari seluruh aparat GMPI, sebagai bentuk kewajiban dan tanggungjawab terhadap PPP. GMPI sebagai salah satu tempat penyiapaan kader pemimpin untuk PPP, memang harus tetap diperhankan dan dilanjutkan. Namun sekarang ini, itu tidak cukup, karena hak dan kewajiban kader-kader GMPI sudah sama dengan aparat partai. Artinya harus ada nilai plus yang dapat disumbangkan GMPI kepada PPP dan itu dapat dimulai dari dilakukannya perubahan pola pikir ber-GMPI dan ber-PPP. Mengubah Pola Kerja Setelah melakukan perubahan mindset, GMPI juga dituntut melakukan perubahan pola kerja. Tujuannya agar kerja-kerja yang dilakukan GMPI, tidak saja bermanfaat bagi GMPI tapi juga bagi PPP. Bila selama ini, kerja-kerja GMPI sebagai bentuk aplikasi dari program strategis yang disepakati bersama, baik ditingkat Pimpinan Cabang, Pimpinan Wilayah dan Pimpinan Pusat masih terkesan setengah hati dalam mendorong dan mendukung esksitensi PPP, ke depan pola-pola seperti itu harus ditinggalkan. Lalu dari sisi kuantitas dan kualitas, kalau selama ini masih lebih dominan dalam kerangka kepentingan GMPI sebagai bagian dari organisasi kepemudaan di Indonesia, juga harus dilakukan perubahan 180 derjat. Artinya, bila diukur menggunakan persentase, maka kuantitas kerja dan kualitas hasil kerja yang akan didapatkan GMPI dari sebuah program klerja, seyogyanya persentasenya berkiblat pada kepentingan PPP harus lebih besar dibandingkan kepentingan GMPI. Meskipun harus ditegaskan bahwa pangkal dan dasarnya adalah GMPI, karena memang ruang dan peluang terbesar yang dimiliki kader GMPI untuk berkiprah, tentu tetap pada maqomnya. Mafhumnya, bahwa organisasi GMPI juga harus tetap eksis dan berjaya di kalangan organisasi kepemudaan. harus diciptakan seperti dua sisi mata uang, GMPI dan PPP tidak bisa nafsi-nafsi, sebab ujung dari karir dan pengabdian kader-kader GMPI akan berlabuh di rumah besar umat Islam, PPP. Dari sisi lain, PPP juga jangan egois dengan hanya memfokuskan perhatian dan apresiasi hanya kepada kade-kadernya. Jangan pula menggunakan sudut pandang dan forsi berbeda, ketika berhadapan dengan kader-kader dari organisasi sayap partai. Contoh konkrit perubahan pola kerja adalah GMPI adalah dalam setiap event dan kesempatan yang dimiliki, baik saat beraktivitas sebagai kader organisasi maupun sebagai bagain dari masyarakat, harus tetap menyuarakan PPP. Karena PPP sebagai rumah besar umat islam wajib dikawal dan didukung sepenuhnya oleh umat. GMPI juga harus menyertakan simbol dan atribut PPP dalam setiap kegiatannya termasuk menghidupkan kembali budaya-budaya PPP yang telah tergerus jaman. Yang paling penting dari perubahan pola kerja tersebut, GMPI harus menyusun ’sejuta’ program strategis untuk kemudian direalisasikan dengan tujuan kemajuan PPP dan GMPI. Semakin banyak interaksi GMPI bersama masyarakat, tentu efek domino positifnya juga akan dinikmati PPP. Mengubah Pola Rekruitmen Salah satu sumbangsih nyata yang dapat diberikan GMPI dalam mengembangkan PPP adalah dengan mengubah pola rekruitmen kader. Perubahan tersebut sebenarnya sudah dideklarasikan PW GMPI Sumatera Utara pada periode 2010-2015, meskipun menurut catatan penulis, komitmen perubahan yang telah disepakati tersebut belum terlaksana 100 persen. Perubahan dimaksud adalah, bahwa setiap pengurus GMPI illa (kecuali) posisi jabatan ketua, tidak boleh menjadi pengurus PPP ditingkatan manapun. Itu artinya, seluruh pengurus GMPI benar-benar direkrut dari luar kader PPP. Jangan seperti kata orang Betawi, Lu Lagi, Lu Lagi. Ia menjadi menjadi pengurus PPP sekaligus menjadi pengurus GMPI. Kader yang berambisi menjadi pengurus partai, GMPI harus ridho memberi ruang dan kesempatan serta dengan kemampuan yang dimillikinya untuk mengurus PPP, agar bisa konsentrasi dan fokus. Sebaliknya bagi orang yang tidak mau terlibat langsung dalam urusan kepartaian, orang seperti ini juga harus diberi ruang dan kesempatan untuk ber-GMPI dalam rangkan pengembangan diri dan peningkatan wawasan. Jika pola rekruitmen seperti dapat dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia, maka GMPI dipastikan akan memberikan kontribusi besar bagi perkembangan PPP seperti penambahan raihan suara di pemilu 2014 mendatang. Alasannya, pemilih militan dan pejuang PPP akan mengalami lonjakan pertambahan secara signifikan melalui pengurus-pengurus GMPI, semoga. Jayalah GMPI dan Jayalah PPP.(Mursal Harahap) (Penulis adalah Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah GMPI Provinsi Sumatera Utara periode 2005-2010).
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan sampaikan komentar anda di sini