Merdeka Atau Mati..! slogan perjuangan ini muncul dari besarnya semangat bangsa ini untuk lepas dari belenggu kolonialisme. Slogan ini juga pada akhirnya menyatukan kekuatan seluruh bangsa Indonesia agar tetap eksis mempertahankan kemerdekaan. Sebab kemerdekaan bukan hadiah, tapi perjuangan panjang penuh pengorbanan.
Seiring perjalanan sejarah, bangsa ini telah mengecap kemerdekaan selama 64 tahun. Bangsa ini juga telah tumbuh dan berkembangan seiring perkembangan masyarakat dunia. Berbagai prestasi juga telah ditorehkan, secara regional maupun internasional. Itu semua terjadi, tidak lepas dari jasa-jasa para pahlawan.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak lupa terhadap jasa-jasa para pahlawannya. Seperti bulan Oktober, pada setiap tahun dilangsungkan peringatan hari pahlawan yang jatuh pada setiap tanggal 10 Oktober. Meski harus diakui, belakangan ini peringatan hari pahlawan, cenderung hanya seremonial belaka. Sebab, semangat para pahlawan yang kini sudah terkubur tidak terimplementasi dalam pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ironisnya lagi, seringkali dijumpai, para pahlawan yang masih hidup dan menjadi saksi hidup sejarah perjuangan para pahlawan, diabaikan. Mereka para pahlawan dalam setiap upacara hanya ‘dimanfaatkan’ sebagai pelengkap barisan.
Kondisi ini menjadi bukti nyata, bangsa ini telah kehilangan jejak para pahlawan. Kehilangan jejak, karena semangat dan niat tulus para pahlawan memerdekaan bangsa ini hilang pada generasi berikutnya. Dulu para pahlawan berjungan sekuat tenaga dan rela mengorbankan apa saja demi kemerdekaan Indonesia.
Mereka tidak pernah berpikir mau jadi apa setelah bangsa ini merdeka. Tidak pernah berpikir mau kerja apa, berapa penghasilan mereka atau jabatan apa yang akan mereka dapatkan. Semangat inilah yang kemudian tidak dimiliki generasi penerus bangsa ini, dan itupula yang membuat bangsa ini kehilangan jejak para pahlawannya.
Para pahlawan yang telah gugur, kini mungkin menangis melihat kondisi bangsa ini. Bangsa yang kini memiliki deretan panjang pemasalahan. Bangsa yang kini mungkin sudah kehilangan arah dan tujuan, bangsa yang kini telah kehilangan jejak. Seperti layaknya seorang pemburu yang sudah kehilangan jejak buruannya.
***
Jejak para pahlawan sebenarnya bisa lahirkan kembali jika seluruh anak bangsa mau urung rembuk guna meluruskan dan mengembalikan tujuan kemerdekaan yang telah diperjuangan para pahlawan. Tujuan itu telah nyata dan tegas diamanahkan dalam pembukaan UUD 1945 dan Pancasila.
Pada pembukaan UUD 1945, disebutkan Pemerintahan Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Terdapat beberapa poin penting yang diamanahkan sebagai menjadi tugas dan tanggungjawab pemerintahan. Yakni melindungi Negara dari segala bentuk ancaman dan gangguan, melindungi seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Pancasila juga telah mengamanahkan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara secara ril dan terpahami. Mulai dari Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang berkeadilan dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin hikmah kebijaksanaan permusyawaratan dan perwakilan, dan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, secara sederhana dapat dipahami bahwa bangsa ini menghormati seluruh kepercayaan rakyat. Lalu negara memiliki tanggungjawab penuh terhadap kelangsungan kehidupan beragama secara damai dan adil. Namun faktanya, seringkali negara melupakan kewajibannya.
Bahkan berbagai kasus penistaan terhadap agama yang terjadi di negeri ini diakibatkan lemahnya perhatian. Setelah muncul gejolak di tengah-tengah masyarakat, baru negara turun tangan. Lahirnya nabi-nabi paslu dan ajaran sesaat menjadi bukti nyata betapa negara ini tidak memiliki semangat perjuangan memberikan jaminan keharmonisan kehidupan kerukunan beragama.
Amanah sila kedua, kondisinya lebih parah lagi. Mungkin para pemimpin bangsa ini sudah kehilangan rasa kemanusiaan. Sehingga mereka-mereka para pemimpin tidak pernah merasa malu -atau mungkin karena urat malunya sudah putus- melihat rakyatnya. Kehidupan yang serba mewah dan berkecukupan membuat mereka mabuk. Mereka tidak pernah berpikir seperti apa nasib sebagian besar rakyat Indonesia yang hidup susah, melarat dan penuh penderitaan. Lalu dimana letak keadilan pada perspekti kemenusiaan.
Kemudian jika dikaitkan antara kemanusiaan dan adab, tidak dapat dipungkiri semuanya kini sudah hilang. Adab dalam bahasa agama Islam berarti etika atau moral. Dan salah sati faktor penyebab kondisi bangsa seperti ini, karena pemimpinnya sudah membuang ‘etika dan moralnya’ yang pada akhirnya menghilangkan kepercayaan rakyat. Jika sudah demikian, pantas dan wajarlah, rasa kemanusiaan itu juga telah hilang.
Berikutnya, persatuan Indonesia. Ini juga telah tercemari bahkan hampir saja menghancurkan Indonesia. Kita masih ingat gerakan rakyat aceh yang meminta berpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tidak hanya Aceh, beberapa daerah juga pernah terdengar meminta berpisah dari NKRI. Ini menjadi bukti nyata bahwa persatuan juga telah mengalami degradasi.
Degradasi persatuan tentu tidak muncul begitu saja. Sebab, kemerdekaan bangsa ini merupakan buah dari persatuan seluruh rakyat Indonesia mengusir penjajah. Artinya kalau mau diurut, rasa oersatuan itu mulai hilang karena hilangnya jaminan pemerintah terhadap hak-hak rakyatnya. Baik hak konstitusi, politik, ekonomi, agama, sosial dan budaya.’
Ditambah lagi, hilangnya rasa kemanusiaan, matinya keadilan serta terbuangnya adab, etika dan moral. Diperkuat lagi dengan tidak terlasananya secara baik sila keempat yakni kerakyataan yang dipimpin hikmah kebijaksanaan permusyawaratan dan perwakilan. Kalua disederhanakan pemaknaan terhadap sila keempat ini adalah terkait dengan legislatif sebagai wakil rakyat yang bekerja bermusyawarah guna kepentingan rakyat.
Seperti kita ketahui, tidak sedikit dari anggota dewan yang bersikap seolah-olah bukan wakil rakyat, tapi wakil partai politik. Padahal partai politik hanya sebagai wadah yang ditentukan konstitusi untuk mencalonkan kadernya untuk menjadi wakil rakyat. Harusnya pola pikir terbangun, ketika dipilih rakyat sebagai wakil keberadaannya harus mampu bermanfaat untuk rakyat. Karena sesungguhnya rakyatlah yang memberikan mandat bukan partai politik.
Selanjutnya, pada sila kelimat keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Amanah sila kelima ini lebih mengarah pada penegakan hukum. Sebagai negara hukum, bangsa inii telah menjadi hukuam sebagai panglima. Konsep ini sebenarnya sangat mulia dan yang terbaik, namun pada prakteknya seringkali hukum hanya menjadi alat.
Alat bagi penguasa dan pengusaha. Contoh kasus yang terdekat adalah kisruh dugaan kriminalisasi terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam kasus ini dapat dilihat proses hukum sudah dicampur aduk dengan proses lainnya. Belum penggalangan power people berkembangn begitu cepat diiringi perang opini.
Jika kasus dugaan kriminalisasi KPK dibiarkan diselesaikan sesuai proses hukum, maka tidak perlu sejumlah tokoh ikut nimbrung memberikan pendapat dan komentar. Karena komentar apapun yang disampaikan tidak memberikan jaminan kasus tersebut akan tertuntaskan dengan baik dan berkeadilan. Presidenpun harusnya tidak perlu membentuk tim untuk melakukan klarifikasi dan fervikasi, toh tim yang dibentuk berdasarkan Keppres itu bukan lembaga peradilan yang mampu menyelesaikan kasus yang terjadi.
Malah yang muncul kepemukaan tudingan adanya interfensi terhadap proses hukum, dan masuknya kekuatan politik dalam persoalan itu. Kondisi seperti ini tentunya lagi-lagi tidak menyelesaikan masalah, justru mungkin sebaliknya semakin memperumit dan menambah masalah. Lalu siapa yang akan memberikan keadilan tersebut.
Dari sisi keadilan sosial, bangsa ini juga belum mampu merealisasikannya. Bahkan gap sosial terus bertambah curam, seiring perjalanan sejarah bangsa ini. Istilah yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin, rasa tepat menggambarkan kondisi masyarakat bangsa ini.
Banyak oknum yang gajinya berasal dari uang rakyat dan harusnya melayani rakyat, malah minta dilayani oleh rakyat. Mereka-mereka yang hidupnya sudah dijamin negara, ternyata malah berbuat yang merugikan negara. Atau mereka yang mendapat mandat dari rkayat, kemudian mengibuli rakyat. Lalu keadilan sosial seperti apa yang didapatkan rakyat.
***
Kondisi di atas menunjukkan sesungguhnya para pemimpin dan elit bangsa ini telah kehilangan jejak semangat para pahlawan. Semangat yang lahir dari hati sanubari memerdekaan bangsa dan negara dari kekejaman kolonial, penindasan dan keterpurukan. Semangat yang tidak akan hilang walau diterpa panas dan hujan serta putaran waktu yang terus berjalan.
Sudah saat seluruh pemimpin dan elit bangsa ini serta rakyat Indonesia melakukan perenungan dalam rangka evaluasi. Melakukan rekonsiliasi guna menata ulang semangat mencerdaskan dan memakmurkan seluruh rakyat Indonesia. Menata ulang regulasi yang menjamin keberlangsungan kehidupan beragama secara damai dan harmonis. Manata ulang rasa kemanusiaan yang berkeadilan, sehingga terlahir kembali adab yang terbukti dengan penerapan etika dan moral.
Menata ulang persatuan dan kesatuan yang berserakan dengan mengedepankan hukum sebagai panglima tertinggi. Menata ulang makna akan keberadaan kehidupan berpolitikn dalam bingkai kerakyatan yang dipimpin hikmah kebijaksanaan permusyawaratan, menata ulang keadilan sosial. Menata ulang tujuan dan target dalam mengisi kemerdekaan sebagai bagian meneruskan jejak semangat para pahlawan.
Bila ini dilakukan, maka jejak semangat para pahlawan yang meski kini mereka tinggal tulang belulang yang berserakan, lahir kembali. Lahir pada setiap diri pemimpin dan elit bangsa dan lahir disetiap jiwa dan raga rakyat Indonesia. Dengan demikian muncul harapan baru Indonesia akan tetap maju dan para pahlawan tersenyum bangga melihat para penerusnya bangkit mewujudkan cita-cita mereka, Indonesia yang cerdas, aman dan makmur. Amin.
(Penulis adalah Aktivis Forum Indonesia Muda (FIM), Pengurus DPC PPP Kota Medan).