Sore itu Rubi datang ke warungnya. Di dalam warung sudah ada Herma dan Kinung yang sedang asyik me- nonton televisi. Yang mereka saksikan adalah salu ran khusus yang menayangkan kehidupan binatang di- alam bebas. Kelihatan keras dan berdarah, namun tak jarang di dalamnya ada filosofis yang perlu juga dipe- lajari.
Setelah Rubi tiba, tak berapa lama acara
nonton televisi pun usai. Kemudian acara dilanjutkan dengan obrolan bebas seperti
biasanya. Kali ini topiknya membahas tentang kehidupan dunia binatang.
“Kita sering mengatakan bahwa macan dan
singa binatang buas. Kalau yang dimaksud buas karena macan dan singa memangsa
hewan hidup lain, apakah itu tepat? Bukankah manusia juga membunuh hewan-hewan
dalam jumlah yang jauh lebih banyak? Singa dan macan membunuh hewan-hewan lain
untuk memenuhi kebutuhan hidup agar tidak mati kelaparan, sedangkan manusia
membunuh untuk memenuhi nafsunya yang tidak pernah terpuaskan.
Manusia bisa membunuh hewan-hewan karena
ingin menikmati dagingnya yang lezat, bisa tergiur oleh khasiat bagian atau
organ tubuh tertentu, tertarik keindahan kulit binatang yang berharga mahal,
dan bahkan tak jarang membunuh tanpa dasar atau alasan apapun”, tiba-tiba Herma
bercerita seolah-olah ia sedang bicara pada dirinya sendiri.
“Benar Ma, macan dan singa membunuh
untuk makan, sedangkan manusia bisa dengan sejuta alasan, termasuk tanpa ada
alasan apapun. Bahkan caranya bisa sangat kejam. Kalau macan dan singa mengoyak
mangsa dengan giginya yang tajam, dan itu disebut kejam, maka apa yang harus
kita katakana kala orang-orang mengkoyak-koyak sirif ikan hiu dan kemudian
membuang badannya yang sudah tak berdaya, berdarah-darah di tengah laut begitu
saja, sampai akhirnya dibiarkan mati dirajam teman-temannya?”,tambah Kinung.
Herma mengangguk dan dengan suara pelan
ia berkata, “Macan mengkoyak mangsanya karena hanya cara itulah yang ia kuasai
untuk membunuh. Kalau manusia demikian canggih, bisa meniru macan, bisa dengan
tembakan, jeratan dan bahkan dengan fitnah yang lebih kejam dan mengerikan”.
“Betul, mengerikan”, sambung Kinung.
“Adalagi yang mengatakan bahwa macan dan
singa buas, karena makan daging mentah dan berdarah. Tetapi apakah tepat, jika
dikatakan demikian? Bagaimana dengan orang yang suka memakan sashimi atau makan
daging mentah? Bahkan aku pernah melihat orang-orang yang memakan anak tikus
yang masih merah hidup-hidup. Juga bagaimana dengan orang yang suka memangkas
batok kepala kera hidup-hidup dan kemudian dalam keadaan sekarat, otak yang
berdarah-darah si kera dimakan mentah-mentah dengan campuran arak? Apakah itu
tidak kalah buas dan sangat sadis?”
Herma bergidik ngeri dan jijik mendengar
cerita Kinung, meski sejatinya dia sering mendengar cerita itu.
Herma kemudian mencoba menceritakan
pengalamannya,”Nung, ular yang sering disebut licik ternyata juga tidak
serakah. Kalau sudah kenyang, ia akan tidur pulas dan membiarkan mangsanya
bergitu saja. Aku pernah melihat ular sebesar paha, tidur dalam kotak plastik,
dan di atasnya ada seekor kelinci yang berlarian dengan bebasnya, menginjak-injak
tubuh ular itu. Ia tetap bergeming karena ia kenyang dan hanya akan membunuh
kalau butuh makan untuk mempertahankan hidup”, kata Herma kemudian.
“Ia, betul Ma. Hampir semua binatang
yang disebut buas dan licik hanya akan membunuh kalau lapar atau terusik. Ular
yang sering dikatakan licik sebenarnya masih harus belajar soal kelicikan pada
manusia, sebagai sang raja licik yang sesungguhnya. Bahkan selicik-liciknya
ular, kalau membunuh dia akan lakukan sendiri. Artinya menjadi jelas siapa yang
bertanggungjawab. Sementara manusia, tampak menyentuh dan sering tanpa bisa
dibuktikan, pun bisa mencelakai sesama dengan mudah. Lebih gila lagi, dia bisa
dengan mudah pula menimpakan semua kesalahan pada orang yang sama sekali tidak
berdosa.”, imbuh Kinung.
“Rub, kok kamu diam saja? Kamu kurang
enak badan? Masuk angin? Aku buatin wedang jahe ya?”, tiba-tiba Herma bertanya
pada Rubi yang sejak tadi sama sekali tidak berkomentar.
“Tidak Ma, terima kasih, aku sehat-sehat
saja dari tadi aku menyimak dengan baik pembicaraan mu dengan Kinung kok. Mau
dikomentari apalagi? Semua yang kalian berdua katakana memang benar adanya.
Cuma kalian berdua kan tahu bahwa manusia pandai berargumentasi dan
berdiplomasi, sehingga dengan amat mudah tetap akan mengatakan bahwa macan dan
singa adalah binatang paling buas, sedang ular binatang paling licik, mengapa?
Karena manusia kan bukan binatang, meski menurut teori Darwin digolongkan dalam
kelompok primata, hehehe.”
“Benar juga ya Rub”, komentar Herma.
“Ada satu lagi, yang ingin kutambahkan.
Kalau macan singa ular dan kawan-kawannya tidak bisa mengelak tuduhan bila
melakukan pembunuhan, manusia tidak sekedar bisa mengelak dan malah memfitnah
menimpakan kesalahan pada orang lain, tetapi dia bisa dengan terbuka membangun
citra sebagai orang yang baik dan dermawan. Hitamnya di kubur dalam-dalam dan
yang tampak akan terlihat, putih cemerlang tanpa noda”, kata Rubi
sungguh-sungguh. “ Dan terkahir, Ma,
Nung, janganlah terlalu menjelek-jelekkan manusia, karena bagaimanapun juga
kalian berdua, dan tentu termasuk aku sendiri, juga manusia yang sejak tadi
kita kritik habis-habisan, hahaha,” pungkas Rubi.
Kinung, Herma dan Rubi tertawa lepas
menertawakan kemunafikan diri sendiri, (bertambah bijak setiap hari, Tuhan
sudah pindah alamat?)