Terminologi ‘halal’ dan ‘haram’ memang lekat dengan Islam, tapi setiap agama memiliki kriteria halal dan haram-nya masing-masing. Dalam agama Yahudi dikenal kata ‘kosher’, mirip dengan halal, namun kriterianya berbeda. Seperti juga Umat Islam, orang-orang Yahudi juga cukup berhati-hati terkait dengan makanan yang dikonsumsi.
Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim, sampai saat ini belum memiliki peraturan atau Undang-undang yang tegas mengatur tentang label halal. Karena itu makanan yang beredar di pasaran, dapat dikategorikan syubhat. Mengapa syubhat? karena memang meragukan, tidak ada jaminan makanan tersebut halal. Halal dimaksud memiliki pengertian yang sangat luas, yakni halal dari segi bahan, proses, dan cara memperolehnya, hingga pada akibat mengonsumsinya.
Ternyata sejumlah pasar di Indonesia, baik restoran, rumah makan, tempat pemotongan hewan, maupun pasar tradisional belum sepenuhnya memberikan jaminan halal terhadap produk yang mereka pasarkan. Permasalahannya tidak semua umat muslim memiliki pengetahuan yang cukup untuk mengetahui apakah pagangan dan barang yang akan dikonsumsinya halal 100 persen.
Bagi setiap muslim, pengetahuan tentang kehalalan produk makanan yang akan dikonsumsinya sangat penting, karena terkait ketenangan hati dalam melaksanakan aktivitas penghambaan dirinya kepada Allah. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk mengonsumsi makanan dan minuman yang halal dan baik, termasuk barang-barang yang digunakan dalam kehidupan. Itulah pula sebabnya kehalalan produk makanan, minuman dan barang-barang mendapatkan perhatian serius dalam Islam. Alqur’an secara tegas telah memberikan pengaturan tentang makanan dan minuman.
Telaah tentang kehalalan panganan dan/atau barang tidak saja terhenti demi kesehatan, jauh dari itu, kehalalan panganan atau barang yang dikonsumsi sangat terkait dengan penciptaan perilaku manusia. Artinya mengonsumsi panganan dan barang yang jelas kehalalannya, akan melahirkan perilaku manusia yang baik pula. Dari sudut pandang akidah, mengonsumsi panganan dan barang yang halal merupakan ibadah bagi umat muslim.
Jika seluruh umat Islam, penduduk mayoritas Indonesia mengonsumsi panganan dan barang yang halal, sama artinya pemerintah sedang mempersiapkan masyarakat yang berperilaku baik. Jika alur pikir ini yang digunakan sesungguhnya pengesahan Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU-JPH) harus disegerakan untuk menjadi UU, demi keselamatan masyarakat Indonesia.
Perlu dipahami, pembentukan UU JPH sebagai payung hukum yang mengatur tentang label halal, bukan dalam rangka memenangkan masyarakat mayoritas dan mengalahkan warga minoritas, dan bukan pula mengunggulkan satu agama dan mengkerdilkan agama lain. Sesungguhnya pengaturan label halal merupakan jaminan hukum untuk melindungi hak-hak warga negara. Bagi masyarakat yang tidak membutuhkan label halal, silahkan. Namun bagi masyarakat yang membutuhkan jangan pula dihalangi untuk mendapatkan jaminan halal.
Merugikan Umat
Ketiadaan jaminan label halal terhadap produk panganan dan barang, sesungguhnya sangat merugikan masyarakat muslim. Keresahan itu tampak nyata pada saat menjelang bulan Ramadhan dan Syawal. Momentum seperti ini kerap sekali dimanfaatkan oknum pedagang dengan menjual panganan dan barang yang tidak jelas halal-haramnya, bahkan kadaluarsa. Padahal umat Muslim dalam mengonsumsi makanan, minuman serta produk-produk lainnya membutuhkan jaminan keselamatan, baik jaminan keselamatan jasmani, rohani maupun keselamatan akidah.
Secara umum ada tiga katagori makanan yang dikonsumsi manusia, yakni; nabati, hewani, dan bahan penolong untuk produk olahan. Pada prinsipnya semua bahan panganan adalah halal kecuali yang diharamkan syari’at Islam. Padangan Islam terhadap panganan tidak hanya halalan saja, namun juga harus thayyiban. Dalam beberapa ayat Alquran, kata halalan selalu diiukuti dengan kata thayyiban, hal ini menunjukkan masyarakat Muslim harus mengonsumsi panganan yang halalan dan thayyiban dari sisi zat, proses produksi, distribusi, tujuan produksi, hingga pada akibat menkonsumsi panganan tersebut. Panganan yang halal dari segi zatnya dapat menjadi haram, ketika cara memproduksi dan tujuan mengonsumsinya melanggar ketentuan-ketentuan syara’.
Konsumen dalam Islam, tidak semata-mata mengonsumsi kebendaan hanya didasarkan pada rasionalisme semata, tetapi juga konsumen untuk kerohanian, sosial, dan lingkungan. Allah SWT memerintahkan kepada ummatnya, dalam hal ini konsumen, untuk mengonsumsi makanan yang baik, halal dan bermanfaat bagi manusia, juga memanfaatkan segala anugerah-Nya sebagai wujud ketaatan kepada-Nya.
Karena itu pula, tujuan konsumen muslim dalam mengonsumsi panganan bertujuan untuk mengabdi dan merealisasikan tujuan yang dikehendaki Allah Swt. Fuqaha’ memberikan empat tingkatan bagi konsumen dalam mengonsumsi panganan, yakni: (1) Wajib, untuk menghindari dari kebinasaan. (2) Sunnah, agar mampu melaksanakan ibadah secara paripurna. (3) Mubah, sesuatu yang lebih dari sunnah sampai batas kenyang. (4) Makruh, melebihi batas kenyang dan menggangu aktifitas. (5) Haram, membahayakan keselamatan baik jasmani, rohani, dan akidah.
Variasi produk panganan dan barang pada satu sisi memberikan manfaat bagi konsumen, karena kebutuhan akan produk yang diinginkan dapat terpenuhi, serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas produk yang sesuai dengan keinginan dan kemampuan. Pada sisi lain, fenomena tersebut mengakibatkan kedudukan produsen dan konsumen tidak seimbang, dimana daya tawar konsumen berada pada posisi yang lemah.
Secara etis, setiap perusahaan mempunyai tanggung jawab sosial (corporate social responsibility), yaitu kepedulian dan komitmen moral perusahaan terhadap kepentingan masyarakat, terlepas dari kalkulasi untung dan rugi perusahaan. Salah satu tanggung jawab sosial perusahaan tersebut adalah perlindungan terhadap konsumen. Perlindungan konsumen memiliki cakupan yang luas, meliputi perlindungan terhadap konsumen barang dan jasa, yang berawal dari tahap kegiatan untuk mendapatkan produk hingga sampai akibat-akibat dari pemakaian produk.
Label adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan. Sedangkan makanan halal adalah pangan yang tidak mengandung unsur atau bahan yang haram atau dilarang untuk dikonsumsi umat Islam, baik yang menyangkut bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, bahan bantu dan bahan penolong lainnya termasuk bahan pangan yang diolah melalui proses rekayasa genetika dan iradiasi pangan, dan yang pengelolaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum agama Islam.
Terkait dengan keselamatan konsumen muslim, baik secara akidah, rohaniah maupun jasmaniah, dalam mengonsumsi makanan, minuman serta bahan olahan lain bergantung pada informasi produk tersebut. Maka informasi yang menyesatkan konsumen Muslim tentang kehalalan produk akan merusak keselamatan akidah, rohaniah dan jasmaniah konsumen Muslim tersebut.
Hal ini pulalah yang mengaharuskan minuman serta bahan olahan lain harus memiliki label, baik label halal untuk dikonsumsi umat Islam maupun label haram untuk dikonsumsi selain umat Islam. Karena sesungguhnya antara halal dan haram harus jelas, maka produk minuman serta bahan olahan lain juga harus memiliki kepastian hukum apakah produk tersebut halal atau haram untuk dikonsumsi umat Islam. Bukankah hukum bertujuan untuk menciptakan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian?
Selama ini pengaturan label halal hanya diatur dalam beberapa pasal diberbagai peraturan perundang-undangan saja, yakni: Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Pasal 8 ayat (1) huruf h Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Kondisi ini pulalah yang melahirkan perbedaan sanksi atas penyalahgunaan label halal, sehingga bukan tidak mungkin akan menimbulkan kesulitan dalam penetapan sanksi yang harus diterapkan terkait dengan penyalahgunaan label halal.
Jika Singapura yang berpenduduk mayoritas non-muslim dijadikan perbandingan dengan Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim, maka akan nyata bahwa perhatian Singapura terhadap warga Muslim cukup besar. Hal ini dibuktikan bahwa Singapura telah menetapkan Badan Sertifikasi Halal Singapura, Majelis Ulama Islam Singapura sebagai lembaga satu-satunya yang berwenang menerbitkan Sertifikat Halal, Hal ini terlihat dari keberadaan Sertifikat Halal MUIS telah terbit sejak tahun 1978. Bahkan di negara-negara sekuler sekalipun seperti Eropa telah mengatur tentang Label halal, hal ini menunjukan keseriusan mereka untuk melindungi hak-hak wargannya, khsusunya konsumen Muslim.
Pemerintah Republik Indonesia menyerahkan kewenangan untuk menerbitkan Sertifikasi Halal kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Piagam Kerjasama Departemen Kesehatan, Departemen Agama, dan Majelis Ulama Indonesia Tahun 1996 tentang pelaksanaan pencantuman label halal pada makanan. Sedangkan pelaksanaan pencantuman Label halal menjadi kewenangan Departemen Kesehatan yang didasarkan atas hasil pembahasan bersama antara Departemen Kesehatan, Departemen agama dan Majelis Ulama Indonesia.
Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU-JPH) yang sedang digodok DPR RI merupakan angin segar bagi masyarakat Islam di Indonesia, dengan harapan bahwa produk barang dan/atau jasa yang beredar nantinya harus melewati pemeriksaan apakah produk tersebut halal atau haram untuk dikonsumsi oleh masyarakat muslim.
Terlepas dari perdebatan yang sedikit panjang tentang apakah sertifikasi halal diserahkan kepada Pemerintah atau tetap dipegang oleh MUI, namun kita semua berharap bahwa lembaga yang berwenang menerbitkan Sertifikasi Halal nantinya memiliki teknologi yang cukup, serta memiliki Tim Auditor yang kualified dan kompeten.
Penggodokan RUU-JPH juga diharapkan terhindar dari conflict of intrest, yang dapat merugikan dan membahayakan konsumen muslim sendiri, sehingga dapat menjadikan fungsi pengawasan terhadap produsen menjadi lemah dalam hal penerbitan sertifikat halal. Karena kehalalan suatu produk merupakan kepentingan umat untuk mendapatkan haknya mengonsumsi barang dan/atau jasa yang berkualitas dan sehat yang diwajibkan oleh Syari’at Islam. Maka, biarkanlah DPR RI dan Pemerintah, secara bijak dan mendengarkan aspirasi masyarakat khususnya ummat Islam guna menyempurnakan menyempurnakan pembahasan RUU-JPH.
Penutup
Pada hakikatnya, kepedulian dan tanggung jawab perusahaan terhadap konsumen Muslim adalah wujud kepentingan untuk perusahaan itu sendiri guna mendapatkan keuntungan. Keuntungan tersebut diperloleh dari tanggung jawab dan kepedulian terhadap konsumen Muslim tersebut, yang direalisasikan dalam bentuk kepercayaan publik dan kemudian bergerak ke arah pemetikan hasil dari kepercayaan publik.
Kehalalan produk pangan dan barang, biasanya konsumen merupakan golongan yang sangat rentan diekploitasi secara buruk oleh produsen, terlebih lagi terhadap konsumen muslim. Kondisi ini dapat meruntuhkan kepercayaan konsumen secara publik terhadap produsen, yang akhirnya merugikan pihak produsen sendiri, karena produknya tidak dikonsumsi lagi oleh konsumen.
Pengaturan label halal sesungguhnya tidak dimaksudkan untuk mematikan ataupun melemahkan aktifitas produsen, tetapi justru sebaliknya. Sebab pengaturan lebel halal diharapkan mampu mendorong iklim dan persaingan usaha yang sehat, serta diharapkan dapat melahirkan perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan sehat melalui penyediaan barang dan jasa yang berkualitas. Label halal bukanlah hantu yang menakut-nakuti produsen ataupun virus yang mematikan produsen. Jadi, tidak perlu takut, karena yang dibutuhkan label halal bukan label Haram. wallahu a’lam bissawab…(Penulis : H Fadly Nurzal, S.Ag Ketua DPW Partai Persatuan Pembangunan dan Ketua Majelis Alumni Fakultas Syari’ah IAIN Sumut).