MEDAN

Nasehat...

.“(Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang dimudahkan terbang diangkasa bebas? Tidak ada yang dapat menahannya selain daripada Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang beriman. (An-Nahl:79") .“(menang dengan mengalah, itulah filsafat air dalam mengarungi kehidupan") .(Guru yang paling besar adalah pengalaman yang kita lewati dan rasakan sendiri) .(HIDUP INI MUDAH, BERSYUKURLAH AGAR LEBIH DIMUDAHKAN ALLAH SWT)

Bismillahirrahmanirrahim

"Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang dimudahkan terbang diangkasa bebas? Tidak ada yang dapat menahannya selain daripada Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang beriman. (An-Nahl:79)

Sabtu, 04 April 2009

Perempuan Bunga Rampai Politik ?

Bunga Rampai adalah kumpulan beberapa bunga yang disusun menjadi hiasan, dan bagai sebagian etnis bunga rampai dibutuhkan untuk keperluan sesajen atau tabur bunga. Sederhananya bunga rampai bermanfaat sebagai hiasan. Posisi caleg perempuan dalam pentas politik di negeri ini, hampir sama dengan bunga rampai. Artinya kehadirannya dibutuhkan hanya sebagai pelengkap. Hal itu bisa dilihat dari kehadiran perempuan dalam pencalegkan. partai politik menempatkan kaum hawa masuk menjadi Calon Legislatif (Caleg) tidak lebih untuk pemenuhan kuota 30 persen. Dan itulah cerita lama sejak dahulu kala yang sejak dulu sudah terjadi. Faktanya sampai saat ini, perempuan masih dengan berstatus yang sama. Meski diawal perempuan sudah mendapat posisi strategis, namun tetap saja tidak strategis dengan lahirnya putusan MK. Banyak alasan yang menjustifikasi anggapan perempuan hanya sebatas bunga rampai politik. Diantaranya, partai politik masih setengah hati memberikan porsi yang besar bagi keterlibatan perempuan dalam ranah politik. Dan hampir mayoritas parpol memasang para caleg perempuan di nomor urut empat ke bawah, atau istilah lain nomor tak jadi. "Bagi saya, perempuan dalam ranah politik masih saja sebagai bunga rampai," kata F Saragih, S.Ag salah satu caleg DPRD Sumut. Menurutnya banyak indikator yang menjadi pembenaran anggapan perempuan sebagai bunga rampai poltik. Misalkan lemahnya kualitas kaum perempuan, lalu rendahnya kesadaran politik pemilih perempun. Belum lagi kelemahan waktu dan tempat yang itu tidak dimiliki kaum laki-laki. Nah terkadang, kelemahan ini juga yang digunakan partai politik sebagai indikator untuk melihat perempuan sebelah mata di dunia politik. Meskipun dari sisi undang-undang dan hukum, laki-laki dan perempuan itu memiliki hak dan derajat yang sama. Mestinya, porsi 30 persen tidak dipahami secara parsial.Tapi dipahami secara utuh, sehingga caleg perempuan harus betul-betul diapresiasi, seperti caleg laki-laki. Kemudian dimasukkan sebagai caleg, caleg perempuan harus dibekali, diberi pendidikan dan pelatihan atau wawasan yang memadai. Sehingga, ketika diajukan ke KPU, caleg perempuan dalam kondisi siap pakai. Tidak sekadar sebagai bunga rampai. Jika dibanding dengan negara-negara maju, pendidikan perempuan Indonesia masih jauh ketinggalan. Maka ketika ada ketentuan partai-partai politik harus mengajukan caleg perempuan 30%, relatif partai-partai menghadapi kesulitan. Lagi pula tidak semua perempuan terdidik tertarik pada kegiatan politik. Mereka memilih karier di luar bidang politik yang mungkin mereka anggap lebih bermanfaat untuk pengembangan diri dan keluarga. Banyak partai terpaksa 'mencomot' caleg perempuan hanya untuk memenuhi ketentuan undang-undang. Sehingga tidak menjadi persoalan apakah Caleg perempuan itu memenuhi kriteria menjadi member of parliament atau tidak. Mungkin karena pertimbangan tidak semua akan terpilih. Lagi pula yang menentukan terpilih tidaknya adalah suara terbanyak. Justru itupula, anggapan perempuan hanya sebagai bunga rampai politik dan hanya untuk memenuhi kuota 30 persen, suatu penilaian yang tidak berlebihan. Kondisi ini semakin diperparah sikap elite partai politik yang dinilai melakukan diskriminatif terhadap perempuan. Sebagai gambaran, jumlah keterwakilan perempuan di DPR pada 1950 sampai 1955, hanya 9 orang atau 3,8% dari total jumlah 236 anggota. Pada 2004--2009 bertambah menjadi 63 orang, 11,45% dari 545 anggota. Naik menjadi 3 kali dalam kurun waktu sekitar 60 tahun. Lalu pada tahun 2009 ini, jumlah perempuan dalam pencalegkan saja tidak seluruh partai memenuhi kuota 30 persen.(Mursal Harahap)

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan sampaikan komentar anda di sini