Berguru Pemilu ke India, Mengapa Tidak Persis sepuluh hari lalu, Indonesia menggelar pemilihan umum (pemilu) ketiga setelah rezim Orde Baru runtuh. Meski sudah tiga kali, pemilu terakhir ini ternyata tak bisa dibilang lebih baik dari dua sebelumnya. Bahkan, banyak yang menilai, inilah pemilu terburuk sepanjang sejarah reformasi. Soal yang satu ini, tampaknya, Indonesia tidak boleh malu untuk belajar dari India - negara demokrasi terbesar di dunia – dalam hal menggelar pemilu. Kamis (16/4), India mulai melaksanakan pemilu terbesar di dunia. Para pemilih akan menentukan 543 wakil mereka di Lok Sabha (Dewan Perwakilan Rakyat). Di India, pemilu adalah pesta politik yang melibatkan sekitar 714 juta orang sebagai pemilih, mempekerjakan 4 juta orang sebagai panitia pemilu, serta membutuhkan sekitar 800.000 TPS dan waktu sebulan untuk penyelenggaraannya (16 April-16 Mei 2009). Meski melibatkan ukuran-ukuran yang sangat masif, harus diakui India mampu menorehkan catatan panjang dalam menyelenggarakan pemilu yang relatif damai dan teratur. Kecurangan memang ada, tetapi tahun demi tahun kasus-kasus intimidasi terhadap pemilih dan jual beli suara kian menurun. Berbeda Ada perbedaan-perbedaan yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia dan India. Perbedaan dimulai dari penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Di India, para pemilih berusia di atas 18 tahun mendaftarkan diri (stelsel aktif), bukan didaftar (stelsel pasif) seperti di Indonesia, sehingga kasus penyimpangan DPT dapat diminimalkan. Apalagi, setiap pemilih diberi kartu identitas berfoto oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kemungkinan pemberian suara dengan menggunakan joki juga diperkecil. Di Indonesia, kini, siapa pun bisa menjadi calon anggota legislator (caleg), tak peduli apakah ia pekerja/kader partai atau bukan. Saat kampanye lalu, kita dibingungkan melihat berbagai wajah, berbagai profesi, berbagai latar pendidikan, terpampang di poster-poster dan baliho-baliho di pinggir jalan, di pohon-pohon dan berbagai tempat. Pertanyaan yang kerap muncul, “Siapa orang-orang ini? Dari mana mereka datang? Apakah kita harus memilih mereka meski kita tak tahu kualitas orang-orang tersebut?” Jumlah caleg yang begitu banyak (akibat sistem proporsional terbuka) tentu memusingkan pemilih. Maka, jangan salahkan mereka jika caleg-caleg yang tak mereka kenal itu tidak menarik minat. Di India, ada lebih dari seribu partai menjadi peserta pemilu (sebagian besar partai lokal), jauh lebih banyak dari 38 partai nasional dan 6 partai lokal di Indonesia. Namun, pemilih tidak perlu pusing menimbang-nimbang caleg mana yang paling baik. Mereka hanya perlu melihat partai karena setiap partai hanya menyertakan satu caleg di tiap-tiap distrik. “Di India, masing-masing calon adalah kader dari partainya,” kata Duta Besar India untuk Indonesia Biren Nanda, di kediamannya, beberapa waktu lalu. Maka, tak akan ada orang yang tiba-tiba menjadi caleg sebuah partai tanpa ada catatan aktif sebagai pekerja atau kader di partai tersebut. Para caleg tak perlu memasang banyak baliho atau poster yang biayanya sangat mahal untuk mempromosikan diri. Mereka wajib mendatangi konstituen karena hal itu dilakukan jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan pemilu. Lebih Murah Pemilu di Indonesia sangat tak ramah lingkungan karena menggunakan kertas untuk pemberian suara. Ada sekitar 170 juta pemilih yang terdaftar. Untuk memenuhi kebutuhan itu, mari kita kalikan 170 juta dengan 4 (rata-rata pemilih diberi empat lembar kertas suara). Hasilnya adalah 680 juta lembar kertas suara seukuran koran. Sebuah angka yang membuat dahi para pencinta lingkungan mengeryit. Pemilu India jelas lebih ramah lingkungan karena tidak menggunakan kertas. Sebagai gantinya, sebanyak 1,1 juta mesin penghitung elektronik (EVM) digunakan dalam pemilu kali ini. Oleh karena menggunakan peralatan yang canggih, penghitungan suara bisa diselesaikan dalam satu hari, yaitu pada 16 Mei. Bandingkan dengan Indonesia yang membutuhkan dua pekan untuk mengumpulkan dan menghitung suara. Penggunaan EVM dalam Pemilu India telah berhasil mengurangi, kalau tidak bisa menghilangkan fenomena suara tidak sah. EVM juga sangat membantu para pemilih yang buta huruf karena mereka tak perlu membaca nama caleg (seperti di Indonesia). Mereka hanya perlu melihat simbol-simbol partai pada mesin tersebut. “Bahkan, yang buta huruf pun bisa memilih dengan mudah,” kata Biren Nanda. Maklumlah, banyak pemilih di India datang dari kalangan tak berpendidikan. Indonesia semestinya melakukan hal serupa karena jumlah orang yang buta huruf di negeri ini pun masih sangat besar. Dengan sistem pemberian suara seperti pemilu lalu, mereka pasti kesulitan mencentang caleg-caleg pilihan karena membaca nama pun mereka tak bisa. India membutuhkan sekitar 800.000 TPS untuk melayani para pemilih. Namun, jangan bayangkan pendirian tenda-tenda seperti yang terjadi di Indonesia. Di sana, KPU memanfaatkan gedung-gedung sekolah ataupun kampus. Perbedaan-perbedaan ini membuat dana yang dibutuhkan juga berbeda. Di India untuk keperluan logistik pemilu, dana yang dibutuhkan diperkirakan sebesar US$ 400 juta (atau sekitar Rp 4triliun). Angka ini jauh lebih kecil dengan anggaran pemilu Indonesia yang mencapai Rp18 triliun (apalagi kalau ditambah biaya kampanye puluhan ribu caleg!). Demokrasi di Indonesia baru seumur jagung memang. Saat Indonesia baru menjalani tiga pemilu yang demokratis, India sudah melaksanakannya sejak 1951. Jadi, tak salah juga kalau kita belajar dari tetangga sebelah di seberang Samudera Hindia itu, tak perlu jauh-jauh ke Amerika atau Eropa. (S LUBIS)
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan sampaikan komentar anda di sini