MEDAN

Nasehat...

.“(Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang dimudahkan terbang diangkasa bebas? Tidak ada yang dapat menahannya selain daripada Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang beriman. (An-Nahl:79") .“(menang dengan mengalah, itulah filsafat air dalam mengarungi kehidupan") .(Guru yang paling besar adalah pengalaman yang kita lewati dan rasakan sendiri) .(HIDUP INI MUDAH, BERSYUKURLAH AGAR LEBIH DIMUDAHKAN ALLAH SWT)

Bismillahirrahmanirrahim

"Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang dimudahkan terbang diangkasa bebas? Tidak ada yang dapat menahannya selain daripada Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang beriman. (An-Nahl:79)

Jumat, 12 Juni 2009

Independensi KPU Tergerus Kepentingan

Jadwal Pemilu Sering Molor Independensi KPU Tergerus Kepentingan Mundur… tunda… dijadwal ulang atau istilah lain, menjadi gambaran nyata kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) inkonsisten. Sederet tahapan pemilu yang sejak dini telah dijadwalkan dan disepakati, ternyata bisa saja berubah. Situasi ini membuat masyarakat bertanya-tanya, apakah konsistensi KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu telah tergerus kepentingan. Tidak konsistennya KPU dalam mengeksekusi setiap tahapan pemilu, memunculkan tudingan dan cibiran macam-macam. Mulai dari anggapan KPU telah susupan kepentingan kelompok, tudingan KPU cenderung mendukung salah satu parpol atau pasangan capres dan cawapres dan penilaian miring lainnya. Data yang terekam redaksi KPK Pos ada beberapa pengunduran yang dilakukan KPU terkait tahapan pemilu legislatif dan pemilu presidenen. Misalkan jadwal hari H pemungutun suara pemilul legislatif, awalnya ditentukan pada 5 April lalu diundur menjadi 9 April. Pengunduran penetapan DPT pemilu legislatif bahkan terjadi beberapa kali. Pengumuman dan penetapan hasil perolehan suara partai politik dan caleg sampai pada pengunduran jadwal kampanye damai pemilu presiden. Rapot buruk lain KPU dalam penyelenggaran pemilu legislatif terlihat dari banyaknya tingkat pelanggaran aturan pemilu, baik legislatif maupun presiden. Pelanggaran-pelanggaran itu terus berulang dan KPU terkesan tidak mampu berbuat banyak. Padahal Kewenangan KPU dalam menyelenggaran pemilu sepenuhnya dilindungi undang-undang. Tentunya berbagai pelanggaran itu membuat masyarakat marah, kehilangan kepercayaan, jengkel dan berteriak meminta pertanggungjawab KPU. Soal DPT menjadi bola salju yang terus bergulir yang hingga DPR RI sedang menjalankan hak angket. Hak konstitusi warga terabaikan hanya karena KPU tidak maksimal melakukan validasi pemilih. Ironisnya KPU bukannya malu dan melakukan evaluasi demi perbaikan lebih baik. KPU tidak mau disalahkan sendiri, lalu berdalih bahwa data potensial pemilih atau data awal bersumber dari pemerintah dalam hal ini Mendagri. Ibarat telur dan ayam, seperti itulah gambaran siapa sebenarnya yang bertanggungjawab soal DPT. Menanggapi inkonsistenya KPU melaksanakan tahapan pemilu, Humas Panwaslu Sumut Maizen Saptana SH menyebutkan jika tindakan KPU mengundur jadwal pelaksanaan pemilu cenderung memberi keuntungan pada salah satu pasangan capres dan cawapres. Partai-partai pendukung capres dan cawapres lain berhak mempertanyakan hal itu ke KPU. Dikatakan Maizen, menurut UU pejabat yang maju menjadi capres dan cawapres harus mundur dari jabatannya tanpa pengecualian. Memang ada pertimbangan khusus bagi presiden dan wakil presiden yang kembali maju mencalonkan diri. Kalau terjadi situasi darurat yang mewajibkan presiden harus cepat mengambil keputusan dan tindakan. seperti menyelematkan keutuhan bangsa. “Hal-hal seperti ini bisa dimaklumi setiap orang,”ujarnya saat ditemui KPK Pos di kantornya Jln R.A Kartini Medan. Fungsionaris PDI-P yang juga tim pemenangan pasangan Mega-Pro Effendi S Napitupulu mengatakan biarlah, kalau memang ada indikasi memberikan kelonggaran pada salah satu pasangan, itu belum tentu bisa memberi kemenangan. “Kalau Tuhan berkata mereka harus berhenti sekarang, pasti mereka berhenti. Dan kalau Tuhan mengatakan akan ada pasangan lain yang memimpin bangsa ini, pasti terwujud,” ucapnya. Pengamat politik Universitas Medan Area (UMA), Drs Irfan Simatupang MSi, berpendapat sejauh ini KPU masih tergolong netral. Keputusan yang diambil KPU harusnya dimaklumi berbagai pihak. Tidak saja partai, juga kita sebagai rakyat, karena itu sebenarnya sangat manusiawi. Apalagi SBY saat ini masihlah presiden Indonesia yang memiliki tugas yang berat. “Semoga saja KPU mampu menjalankan tugasnya dengan baik,”ujarnya. Mega-Pro : KPU Tak Independen Deklarasi kampanye damai Pilpres 2009 yang pelaksanaannya diundur dari 2 Juni menjadi 10 Juni dinilai diintervensi oleh pasangan calon tertentu. KPU sebagai penanggung jawab acara pun dinilai sudah tidak lagi independen. "Kami menyesalkan KPU yang tiap hari mengubah-ubah waktu. Ini menunjukkan betapa tidak independennya KPU," kata Sekjen PDIP yang juga penasehat Tim Sukses Mega-Prabowo, Pramono Anung di Jl Teuku Umar, Jakarta Pusat, Jumat. Terakhir, kata Pram, pihaknya mendapat kabar deklarasi 10 Juni yang sedianya dilaksanakan pagi hari juga diubah menjadi malam hari. Ia menengarai ini dilakukan KPU karena Presiden SBY akan meresmikan jembatan Suramadu, Jawa Timur pada pagi harinya. Namun demikian, lanjut Pram, pasangan Mega-Prabowo tetap akan menghadiri acara deklarasi tersebut. Sebab, pasangan nomor urut 1 tersebut adalah pasangan yang patuh dan taat azas. "Tapi ini menjadi catatan berupa strong warning agar KPU independen," tegasnya. Pram menjelaskan, pihaknya pun akan melakukan antisipasi terhadap wacana pengurangan jumlah TPS di beberapa daerah oleh KPU. "Kami akan menjaga agar pengurangan tidak dilakukan di basis massa PDIP dan Gerindra," pungkasnya.(DTC) Issu jilbab Tidak Jaminan Menangkan Pilpres Jelang pilpres 8 juli mendatang, perang urat saraf (psy war) telah berdengung dan membahana dari setiap pasangan capres dan cawapres yang bertarung. Terkadang hal-hal yang tidak sepantasnya masuk ranah politik, malah menjadi fenomena yang besar dan menyeruak mengundang kontroversi dan pro kontra dikalangan masyarakat. Issu jilbab adalah salah satunya. Jilbab seakan menjadi komoditi “jualan“ yang dianggap layak dan patut untuk diangkat, untuk mengangkat pamor dan popularitas serta mendongkrak perolehan suara. Pantas dan mampukan issu itu membawa kemenangan atau malah memberi kesan pen-diskredit-an dan menarik issu agama ke ranah politik?. Adlin Ginting mantan aktivis Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) mengatakan hal itu biasa dan lumrah dalam kehidupan demokrasi bangsa ini di tengah kemajemukan masyarakatnya. “Sesunguhnya issu jilbab imbas dari kondisi masyarakat Indonesia yang plural,”ujarnya. Lebih lanjut disebutkan Ginting andai Indonesia negara islam issu tidak bisa dipungkiri akan menarik perhatian dan simpati rakyat. Dan pastinya akan berbanding lurus dengan perolehan suara pasangan capres dan cawapres yang menggelontorkan issu tersebut. “Kalau diperhatikan issu jilbab tidak menimbulkan efek positif dan malah mengundang efek negatif. Dan sangat naif apabila issu jilbab menjadi alat meraih simpati masyarakat “ tambahnya. Mestinya kata pria berkaca mata elite-elite politik lebih bersikap dewasa dan pandai memilih serta memilah apa yang layak dan pantas dimasukkan jadi issu politik yang lebih relevan. “Jangan buat agama menjadi issu karena bisa menimbulkan gesekan mengarah pada SARA,” jelasnya. Sosiolog dan pengamat politik Universitas Medan Area, Irfan Simatupang MSi menyebutkan issu jilbab santer terdengar konsekuensi dari masyarakat plural. Jilbab hanyalah sebuah simbol sebuah agama. Bagi wanita Islam jilbab merupakan sebuah keharusan. Sementara agama lain jilbab hanya bagian dari gaya berbusana. Lalu apakah harus dipaksakan agama lain mengikuti aturan tersebut. Lebih lanjut pria yang juga menjabat Pembantu Dekan III UMA ini menjelaskan ada 4 alasan penggunaan dan pemakaian jilbab. Pertama alasan teologis (agama), kedua faktor psikologis, ketiga karena tekanan, dan keempat alasan politis. Alasan politis ini dilatarbelakangi adanya keinginan mendapat penilaian dan pujian dari orang banyak. Dalam rangka pilpres alasan politis ini, digunakan untuk memunculkan emosional masyarakat dalam menilai dan memilih capres dan cawapres. Hubungan emosional diyakini mampu mempengaruhi pilihan masyarakat. Artinya masyarakat akan memilih orang yang memiliki kesamaan dengannya, misalnya kesamaan agama, etnis dan sebagainya. Irfan mengatakan apa yang terjadi sekarang merupakan dinamisasi politik dan itu dikarenakan Indonesia negara berkembang yang tengah belajar hidup berdemokrasi. “Kontroversi yang ada warna yang menghiasi perjalanan demokrasi,”ucapnya. ( ARI ) Dibagian lain, Seri (21) mahasiswi UMSU semester VI Jurusan Fisip menilai issu jilbab sah-sah saja dimunculkan dalam sebuah proses demokrasi. Karena itu pula istri capres cawapres tidak harus menggunakan jilbab karena Indonesia sudah demokrasi, ujar Seri. Bagi seri, adanya issu jilbab bukan merupakan alasan yang tepat untuk memperoleh suara di pemilu 8 juli mendatang. “Issu tidak akan mendongrak perolehan suara,”ucapnya berpendapat. Lebih lanjut Seri mengungkapkan seharusnya capres cawapres bersaing secara sprortif. Dilihat dari aspek manapun, ranah agama tidak bisa ditempatkan diranah politik dan sebaliknya. Seri menyarankan banyak yang harus dikupas oleh para capres dan cawapres yang lebih penting dari pada sekedar issu jilbab. Aci (21) mahasiswi methodist ini juga sangat tidak setuju dengan adanya issu jilbab salah satu psangan capres dan cawapres. “Memakai jilbab itukan pribadi masing-masing dan tidak selamanya yang berjilbab itu baik,”cetus Aci. Menurut Aci pun issu jilbab tidak siapapun akan memenangkan pemilu presiden mendatang. Lagi pula jangan agama dicampur adukkan denan politik. “Bersainglah dengan jujur dan adil, jangan menghalalkan segala cara,”ujar Aci. Ditempat terpisah, Kepala Kantor Departeman Agama (Kandepag) Kota Medan menyebutkan agama jangan dijadikan alat politik. Sebab agama adalah hubungan manusia dengan Allah SWT. Agama harus menjadikan umat hidup harmonis berdampingan, karena agama manapun tetap mengajarkan kebaikan. “Kita himbau agar agama tidak dijadikan sebagai alat politik, apalagi untuk mendulang suara,”katanya saat ditemui KPK Pos di Kantornya Jl Sei Batu Gingging Medan. MUI : Hindari Kampanye Bernuansa SARA Mencuatnya persoalan jilbab menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden ternyata membuat Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak bisa diam. Kemarin di Jakarta MUI meminta para kandidat yang berlatar belakang militer tidak menggunakan cara-cara tidak sehat, termasuk isu SARA untuk memenangkan Pilpres. Cara-cara ini dinilai rentan terhadap konflik. "Sekarang ini persaingan para jenderal, mereka punya anak buah. Kalau tidak diwanti-wanti kampanye yang sehat, mereka dapat menggunakan apa saja termasuk SARA untuk memenangkan itu," ujar Ketua MUI Amidan di Kantor PP MUhammadiyah, Jakarta. Dia mensinyalir adanya kemungkinan terjadi konflik tersebut. "Misalnya, Babinsa, Kapolsek, Lurah, kalau tidak dilakukan netralitas yang sesungguhnya, ini tidak demokratis lagi," ujarnya. Dalam kenyataannya, kata Amidan, hal itu akan menguntungkan calon incumbent. "Icumbent itu tak SBY saja, tapi JK juga," imbuhnya. MUI juga mengingatkan pemerintah dan KPU untuk tidak memihak pada salah satu pasangan. Dia mencontohkan, kampanye damai yang pada awalnya dimulai tanggal 2 Mei, kemudian dimundurkan hingga 10 Mei. "Meskipun KPU bilang karena persiapannya kurang, tapi itu tidak profesional," ujar Amidan. KPU Akui 'Kompromi' Ubah Jadwal Kampanye Damai Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengakui adanya 'kompromi' politik saat mengundur jadwal kampanye damai 10 Juni pekan depan. Namun, 'kompromi' ini ditujukan agar ketiga pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat menghadiri deklarasi kampanye damai tersebut. "Sebenarnya (soal ketetapan jadwal) terserah KPU. Tetapi kita lakukan kompromi dengan pasangan capres dan cawapres supaya semua bisa hadir," kata anggota KPU Syamsul Bahri. Pengunduran jadwal deklarasi damai yang semula dilakukan pagi hari ini, lanjut Syamsul juga dikarenakan ketidaksiapan KPU untuk menggelar acara itu. Kemudian, KPU berkoordinasi dengan tim sukses masing-masing pasangan sehingga diputuskan deklarasi damai digelar Rabu, 10 Juni 2009 sekira pukul 19.00 WIB. Namun, hingga saat ini KPU belum memutuskan lokasi acara tersebut. "Kita masih membicarakan hal itu," sambungnya.

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan sampaikan komentar anda di sini