Jauh Saling Serang, Dekat Saling Dukung
Tiga calon presiden dan wakil presiden bisa dikatakan memiliki sikap ibarat kentang. Sebelum dimasak keras dan bulat sehingga tampak gagah. Namun begitu dimasak, kentang menjadi lembek dan dengan mudah dibentuk menjadi apapun.
Dari tiga capres itu, tidak satupun yang bersikap kesatria, jauh dan dekat yang salah tetap dikatakan salah dan yang benar adalah benar. Buktinya, saat ketiga capres itu berkampanye di tempat berbeda, tanpa sungkan melontarkan kritikan tajam kepada capres lain. Bahkan kritikan itu dijadikan bahan utama kampanye, tidak peduli apakah kritikan tersebut menambah simpatik rakyat atau malah membuat rakyat muak.
Sungguh tidak diduga, pada debat capres yang mengusung tema hukum, tidak satupun dari ketiga capres itu yang melontarkan ktirikan pedas. Arena debat yang diperkirakan akan seru dengan argumen dan saling kritik, ternyata melempem. Tak ada sindiran SBY untuk Mega dan Jusuf Kalla, serta minus nyinyiran Mega dan JK untuk SBY. Bantat!
Debat yang diselenggarakan KPU tadi malam bukan debat seperti yang diharapkan masyarakat. Debat yang terjadi tidak lebih dari tontonan para calon presiden yang menjawab pertanyaan moderator. Tak ada debat di acara debat capres itu.
Debat sesungguhnya lebih terlihat ketika ketiga capres saling berjauhan. Jusuf Kalla bisa saling bersahutan dengan SBY menyerang slogan masing-masing. Begitu juga SBY dengan Megawati. Sindir menyindir jarak jauh lebih beraroma debat ketimbang ketiganya bertemu di sebuah arena debat.
Yang ada hanya menjadi acara moderator bertanya, capres menjawab. Hampir dari ketiganya seia sekata, saling mendukung, setuju 200%, terkait soal tanggapan mereka ke depan akan penyelesaian masalah TKI, HAM, dan sebagainya. Akur!
"Ya, masyarakat Indonesia tampaknya belum bisa menikmati para calon pemimpinnya yang melakukan debat dan saling melontarkan ide-ide orisinal seperti yang terjadi pada debat calon presiden di Amerika Serikat," komentar pengamat politik UI Iberamsjah.
Hambarnya debat capres dituding karena dihilangkannya sesi saling bertanya antar capres. Ini diduga Iberamsjah karena adanya pesanan dari para capres yang memang tidak berani melakukan debat dalam arti yang sesungguhnya. Acara debat dinilainya tidak tepat, dan lebih cocok disebut dialog capres.
Bagaimana tidak disebut dialog, Megawati yang mendapat kesempatan 'menghajar' SBY pada pertanyaan terkait alutsista dan lumpur lapindo malah tidak memaparkan solusi. Mega malah mengatakan seharusnya pemerintah bisa memiliki early warning system dalam penanganan bencana alam seperti Lapindo. Dengan begitu pemerintah dapat memprediksikan adanya bencana yang bisa membahayakan rakyat.
Padahal, kata peneliti LSI Burhanudin Muhtadi, jawaban SBY bersifat defensif dan normatif. SBY hanya mengatakan akan me-review masalah penanggulangan bencana lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Sebab, capres nomor urut dua ini berpendapat telah melakukan segala upaya dalam menangani luapan lumpur tersebut.
Burhanudin malah memuji jawaban capres Jusuf Kalla yang terlihat agresif. Capres nomor tiga ini mengatakan harus cari teknologi yang paling baik untuk menghentikan semburan lumpur itu. Penangganan bencana alam harus cepat dan segera.
Sementara Jusuf Kalla yang biasanya bicara mantap, terlihat 'ngeper'. Di awal-awal bicaranya seringkali terpatah-patah. Ia terlihat ragu-ragu dan tidak fokus. Sikap Jusuf Kalla yang berbeda itu dinilai pengamat komunikasi politik Universitas Pelita Harapan Tjipta Lesmana, karena untuk pertamakalinya berada dalam satu panggung bersama SBY, sebagai sesama capres.
Malam debat capres itu dari segi kepercayaan diri terlihat menjadi milik SBY. Capres Demokrat itu terlihat lebih siap dengan konsep, seolah-olah seperti sudah mengetahui pertanyaannya. Sayangnya, jawaban dia masih bersifat normatif, beda dengan Jusuf Kalla yang sudah pada tahap memberikan solusi.
Lucunya, SBY sering kali melihat kertas catatan yang dibawanya, makanya jawaban yang diberikan sistematis. Pakar komunikasi UI Ade Armando menduga paparan pertama SBY telah dipersiapkan betul oleh tim suksesnya. Tidak hanya itu, SBY sangat baik menggunakan rujukkannya dengan menambahkan pernyataan dari dua capres lainnya.
Kekompakan jawaban ketiga capres memang jauh dari harapan sebuah acara yang berjudul debat. SBY menilai hal tersebut sebagai permulaan membuka wacana tentang sosok pemimpin. "Ini budaya kita, menjaga solidaritas dan subtansi masing-masing pasangan tanpa harus melakukan perdebatan seperti di luar negeri," kata SBY.
Jusuf Kalla pun menyampaikan alasan yang sama, mengapa tampil tidak gereget di acara debat tersebut. "Kan baik-baik tidak saling serang, hanya menjelaskan," ucapnya.
Ya, ketiganya cukup bagus bekerjasama di atas panggung semalam. Kompak, saling mendukung, minus debat seperti namanya. KPU hanya menyiapkan malam debat sebagai acara pemaparan visi misi. Silat lidah Mega, SBY, dan Jusuf Kalla hanya ada di luar panggung, kala mereka berjauhan.
Capres Tutupi Soal HAM?
Meski tema debat capres salah satunya membahas soal HAM, para kandidat seolah menutupi persoalan itu. Jawaban yang tidak memuaskan dari ketiga kandidat itu menyesakkan dada para korban pelanggaran HAM.
"Saya melihat ada aura semangat Korps TNI sangat terlihat tadi malam. Mereka yang menuntut soal HAM kecewa dengan jawaban capres. Itu sangat menyesakkan mereka yang menuntut the real justice," Rocky.
Para capres, lanjut dia, tidak memberikan jawaban yang memuaskan seputar persoalan HAM dalam debat capres putaran pertama itu. Padahal dengan tema mewujudkan tata kelola pemerintah yang baik dan bersih serta menegakkan supremasi hukum itu sangat dinantikan oleh masyarakat.
"Mereka semua (capres) menghindar soal HAM. Mereka seolah menutup aura itu, dan memilih menyudahi persoalan HAM di masa lalu itu," ujar Rocky.
Rocky mengatakan, penyebabnya adalah ketakutan para capres terhadap pencitraannya di mata publik. Sehingga Mega, SBY, JK memilih untuk berdebat secara santun.
"Tapi kesantunan itu berlebihan. Kalau mereka takut untuk dikritik dan terpancing emosi kan bisa melontarkan kritik balik secara cerdas, elegan, dan menarik. Bukan diartikan meluap-luap," ujarnya.
Kamuflase Turunkan Tensi
Seperti diduga sebelumnya, perubahan format di detik-detik terakhir pelaksanaan debat capres menjadikan ajang itu hambar. Substansi debat justru tak dijumpai. Inikah 'persenkongkolan' elit untuk menurunkan tensi politik jelang hari H pencontrengan
Pengamat politik Fadjroel Rahman menilai, forum yang disebut debat capres tersebut sejatinya tidak ada debat di antara tiga kandidat. “Tidak ada debat antar tiga capres, karena tidak bersedia mengambil posisi tertentu atas persoalan birokrasi dan HAM. Terutama soal HAM paling tidak jelas apa program mereka,” tegasnya kepada wartawan, Jumat (19/6) di Jakarta.
Meski demikian, Fadjroel menilai, pertanyaan yang dilontarkan moderator Anies Baswedan sejatinya ditujukan kepada capres incumbent baik SBY dan JK. “Pertanyaan Anies sebenarnya menyatakan: Mengapa semua problem ini tidak diselesaikan di SBY-JK sekarang juga?” ujar aktivis yang sempat mencalonkan capres independent ini. Sedangkan Mega, menurut Fadjroel seperti biasanya tidak fokus dalam menyampaikan persoalan.
Posisi moderator yang tak aktif semakin melengkapi kehambaran debat capres yang rencananya akan digelar dalam dua sesi lagi. “Kalau moderator dibolehkan aktif menggali problem tentu hasilnya akan berbeda, yang pasti tadi tak ada debat,” tegasnya. Fadjroel pun menilai jika terdapat skor 1-10 untuk cara penyajian, SBY dan JK mendapat poin 6 dan Mega mendapat poin 5.
Debat yang diharapkan publik ini jelas membuat kecewa calon pemilih. Teori bahwa debat akan mempengaruhi pemilih pemula sepertinya tak berlaku di debat capres ala KPU ini. Jika memang debat capres ini diformat untuk mengurangi tensi politik, sepertinya debat seperti ini bukanlah wadah yang tepat
Tak Alami
Bahasa tubuh Mega, SBY, JK bahkan tidak alami. Citra ketiganya usai debat capres pun tenggelam. "Bahasa tubuh tidak natural. Saya kira citranya mereka itu tadi malam tenggelam ketiga-tiganya," ujar pengamat filsafat politik UI Rocky Gerung dalam dialog 'Setelah debat pertama' di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat kemarin.
Seharusnya, lanjut dia, capres harus belajar menikmati bahasa yang indah dan bahasa yang logis saat berdebat. Namun yang terjadi, ketiganya malah mengalami defisit pikiran.
"Bahasa tubuh mereka bukan bahasa tubuh politisi. Itu tubuh birokrat yang terlihat di situ. Mereka birokrat berpikir apa yang diarahkan timnya. Mega dan SBY terlihat berdiri kaku dan lebih sering mengarahkan tubuh dan pandangan ke arah hadirin. Sedangkan JK terlihat kerap berdiri menyamping memandang ke kedua rivalnya