PENDAHULUAN
Pemuda adalah bagian penting dari perjalanan bangsa, sehingga tidak salah lagi jika dikatakan bahwa pemuda adalah urat nadi bangsa yang turut ambil bagian dalam community development dari zaman pra-kemerdekaan hingga pasca reformasi. Banyak hal yang telah ditorehkan pemuda dalam perjalanan bangsa, termasuk dalam pembangunan nasional, hanya saja perlu target yang ditetapkan agar pemuda tidak keluar dari rel cita-cita nasional.
Secara definitif, banyak pengertian untuk menggambarkan terminologi pemuda, dimulai dari sudut pandang usia, fisik, psikologis, biologis, ideologis, demografis, hingga pada sudut watak dan pola pikir. Namun secara kualitatif, pemuda memiliki idealisme yang murni, dinamis, kreatif, inovatif, dan memiliki energi yang besar bagi perubahan sosial. Idealisme yang dimaksud adalah hal-hal yang secara ideal mesti diperjuangkan oleh para pemuda, bukan untuk kepentingan diri dan kelompoknya, tetapi untuk kepentingan luas demi kemajuan masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan secara kuatitatif, pemuda adalah penyumbang terbesar dari jumlah penduduk Indonesia.
Peran pemuda dalam kehidupan bangsa sesungguhnya sudah tidak terbantahkan lagi. Dilihat dari perspektif historis, pemuda merupakan elemen stretegis dalam perjuangan mencapai maupun mengisi kemerdekaan. Pemuda, dalam konteks ini biasanya adalah mereka yang terwadahi dalam organisasi-organisasi kepemudaan.
SEJARAH PERGERAKAN PEMUDA DI INDONESIA
Dekade 1908-1918, disebut sebagai awal Kebangkitan Nasional, kondisi ini lahir akibat situasi baik nasional mapun internasional, hingga pada tanggal 20 Mei 1908 pemuda berhasil mendirikan Boedi Oetomo. Disinilah titik awal berdirinya perkumpulan-perkumpulan yang menjurus kepada nasionalisme dan patriotisme. Karena setelah berdirinya Boedi Oetomo diikuti dengan berdirinya perkumpulan-perkumpulan dan pergerakan di masyarakat, antara lain: Serikat Dagang Islam tahun 1905, Indische Party tahun 1912, Muhammadiyah tahun 1912, Serikat Islam tahun 1912, Nahdhatul Ulama tahun 1926.
Dekade 1918-1928, pada dekade ini pemuda mendirikan beberapa perkumpulan pemuda baik di pulau Jawa maupun di luar pula Jawa, seperti Jong Java, Jong Sumatra, Jong Ambon, Jong Pasundan, Jong Batak, Pemuda Betawi dan lain-lain. Perkumpulan ini juga diikuti oleh perkembangan organisasi pemuda Hindia Belanda yang sekolah di luar negeri. Para pemuda inilah yang mengadakan Kongres Pemuda I tahun 1926 yang mencanangkan suatu organisasi pemuda tingkat Nasional, maka ditetapkan pelaksanaan Kongres Pemuda II pada tanggal 26-28 Oktober 1928 di Batavia. Kongres Pemuda II menghasilkan kesimpulan, bahwa jika bangsa Indonesia ingin merdeka, maka bangsa Indonesia harus bersatu. Untuk itu, mereka mengikrarkan sumpah pada akhir Kongres Pemuda II yang dikenal dengan Sumpah Pemuda, dan ditutup dengan lantunan lagu Indonesia Raya untuk yang pertama kalinya. Sumpah Pemuda meletakkan dasar yang kokoh bagi kemerdekaan bangsa Indonesia. Sepak terjang Sumpah Pemuda juga tercatat mengesankan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan dan mengobarkan semangat dan aktualisasi nasionalisme.
Pada dekade 1928-1938, Kolonial Belanda mulai menangkapi pemimpin-pemimpin organisasi kepemudaan yang dinilai vokal, tokoh-tokoh tersebut dibuang dan diasingkasn dari rakyatnya. Akan tetapi semangat untuk merdeka tidak pernah padam dan malah bertambah subur berkat Sumpah Pemuda. Pada dekade ini pula muncul organisasi sayap yang mengkhususkan pada gerakan pemuda, misalnya Pemuda Ansor tahun 1934, Pemuda Muhammadiyah tahun 1932, Pemuda Muslimin tahun 1932, dan Nasyiatul Aisyiyah tahun 1931.
Dekade 1938-1948, ditandai dengan muncul multi partai yang berjuang di parlemen dan di masyarakat. Hal ini menandakan bahwa bentuk perjuangan bangsa Indonesia lebih berkonsentrasi pada bentuk pemikiran dibanding dengan bentuk perlawanan fisik. Namun pecahnya Perang Asia Timur Jaya pada tahun 1942 dan Jepang masuk menguasai Nusantara, menyebabkan perjuangan pemuda kembali pada bentuk fisik. Jepang yang menjanjikan kemerdekaan Indonesia, justru mengalami kekalahan setelah bom atom meledak di Hiroshima dan Nagasaki. Situasi dimanfaatkan pemuda untuk mendesak tokoh-tokoh nasional agar segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, yang akhirnya dibacakan oleh Soekarno dan Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Dekade ini juga melahirkan ragam bentuk organisasi kepemudaan, seperti Gerakan Pemuda Islam (1945), Ikatan Putra Putri Indonesia (1945), HMI (1947), Pemuda Islam (1947), Angkatan Puteri Al-Washliyah (1947), Pemuda Demokrat (1947), Pemuda Katolik (1947), PMKRI (1947), Pelajar Islam Indonesia (1947) dan GAMKI (1948).
Konsentrasi perjuangan pemuda pada dekade 1948-1958, masih berbentuk perjuangan fisik hingga berlangsungnya Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun 1949. Atmosfir perjuangan bangsa Indonesia pasca kemerdekaan, ternyata melibatkan pemuda dalam perjuangan ideologi guna mencari identitas bangsa. Hal ini dibuktikan dengan lahirnya organisasi-organisasi pemuda sebagai underbow partai politik tertentu, atau afiliasi politik kaum muda terhadap partai tertentu.
Dekade 1958-1968, beberapa organisasi pemuda yang lahir adalah Generasi Muda Mathla’ul Anwar (1956), PMII (1960), IMM (1964), Gema Budhis (1968) dan lain-lain. Masa revolusi 1966 adalah puncak gerakan pemuda pada dekade ini guna memperjuangkan perubahan nasional. Pemuda terlibat secara langsung dalam konflik fisik, seperti terhadap kader-kader PKI. Pemuda mendukung penuh saat Soeharto diangkat sebagai pejabat Presiden RI, kendatipun belakangan dukungan pemuda terpecah sebagai akibat dari politik pecah belah Orde Baru.
Peranan Pemerintah terhadap pemuda pada dekade 1968-1978 dengan membentuk Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga. Komite Nasional Pemuda Indonesia berdiri pada tahun 1973 yang awalnya bertujuan untuk memudahkan Pemerintah dalam memonitor pergerakan pemuda dan mahasiswa di Indonesia. Menghadapi kondisi ini, beberapa organisasi pemuda/mahasiswa membentuk Kelompok Cipayung, untuk membentuk opini bersama dalam menghadapi kebijakan pemerintah, mereka adalah HMI, PMII, PMKRI, GMNI dan GMKI. Gerakan pemuda kembali terkonsolidasi secara nasional pada tahun 1973-1974, Peristiwa Malari 1974 adalah puncak gerakan pemuda sebagai respon atas kebijakan Pemerintah Orde Baru yang tidak transparan. Akhirnya Pemerintah Orde Baru mengekang kebebasan pemuda/mahasiswa agar tidak terlibat aktif dalam kegiatan politik dengan menerapkan kebijakan NKK-BKK pada tahun 1978.
Dekade 1978-1988, adalah puncak kekuasaan Pemerintahan Orde Baru. Pemerintah dengan memberlakukan asas tunggal Pancasila. Organisasi pemuda yang terkena imbas kebijakan tersebut terpaksa menerima asas tunggal agar tidak tergusur oleh aturan pemerintah, sementara yang tidak menerima terpaksa bergerak di bawah tanah agar tetap eksis, meski harus berurusan dengan intel pemerintah. Kebijakan asas tunggal ini ternyata efektif memecah gerakan pemuda/mahasiswa. Seperti HMI misalnya, terpecah akibat asas tunggal Pancasila menjadi HMI (Dipo) dan HMI (MPO), atau PII yang terbonsai akibat menolak asas tunggal Pancasila.
Pada dekade 1988-1998, krisis moneter ternyata menyebabkan terkonsolidasinya gerakan pemuda dan mahasiswa secara nasional, yang yang disebut dengan gerakan reformasi, yang menuntut reformasi total atas krisis multidimensi Indonesia. Gedung DPR/MPR berhasil diduduki mahasiswa dan pemuda hingga tumbangnya rezim Orde Baru. Reformasi juga melahirkan multi partai politik dan memberikan kesempatan kepada pemuda untuk membentuk dan menjadi fungsionaris partai, serta terlibat langsung dalam perebutan kursi di parlemen.
Pada dekade 1998-2009, selain organisasi kemahasiswaan, beberapa organisasi pemuda telah merambah ke dalam dunia kampus, juga diikuti dengan organisasi sayap partai yang go to campus. Perkembangan organisasi pemuda dan mahasiswa tidak hanya sampai di sutu, pada dekade ini juga muncul beragam organisasi pemuda dan mahasiswa yang berbasis kedaerahan. Pemilu tahun 1999, 2004 dan 2009 adalah momentum tampilnya pemuda di kursi legislatif, baik di daerah maupun di pusat. Tahun 2008 adalah seratus tahun (satu abad) peringatan Kebangkitan Nasional, sejarah mencatat bahwa pemuda memiliki peran strategis pada setiap babak sejarah Indonesia dalam upaya perubahan sosial. Namun hingga saat ini masih banyak tumpukan PR bangsa ini yang belum terselesaikan, dan menunggu sentuhan tangan dingin pemuda.
PEMUDA DALAM DIMENSI KEPEMIMPINAN
Dengan semangat Boedi Oetomo, Sumpah Pemuda, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, dan semangat gotong royong ternyata mampu menyatukan persepsi pemuda dalam pembangunan nasional. Walaupun organisasi kepemudaan yang tampil hari ini, lahir dari kedaerahan, kesukuan dan latar belakang yang berbeda, namun merupakan kekayaan dan potensi pemuda yang harus dikembangkan dalam bingkai multikulturalisme, sehingga pemuda memiliki kemampuan mengelola pluralisme kebangsaan.
Dalam dimensi kepemimpinan, sejarah Indonesia mencatat bahwa bangsa ini juga pernah dipimpin oleh pemuda. Sebut saja beberapa diantaranya adalah Soekarno (44 tahun) dan Hatta (43 tahun) pada saat disumpah menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Bung Syahrir (40 tahun) saat menjabat Perdana Menteri. Mohammad Natsir (40 tahun) saat menjabat Perdana Menteri. Jendral Besar Soedirman wafat pada usia 36 tahun, dan Soeharto (46 tahun) saat dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia.
Maka, untuk memenuhi tuntan perkembangan paradigma kepemimpinan pemuda tesebut, pemuda dituntut untuk mempersiapkan diri dalam proses kaderisasi kepemimpinan bangsa. Kaderisasi tersebut merupakan urat nadi dari proses regenerasi setiap organisasi, sehingga setiap pemuda dipersiapkan untuk menjadi pemimpin bagi masa depan bangsanya melalui proses kaderisasi tersebut. Minimal pemuda harus memiliki sejumlah kriteria, antara lain kemampuan (ability) dan kapasitas (capacity).
PEKERJAAN RUMAH PEMERINTAHAN BARU
Persiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia telah dilantik di Gedung DPR/MPR pada tanggal 20 Oktober 2009, dan Presiden membentuk dan melantik Kabinet Indonesia Bersatu pada tanggal 22 Oktober 2009. Dimana artikulasi peran pemuda sangat terasa dalam menentukan pemerintahan baru ini, sehingga Pilpres kali ini dapat dilalui dengan suasana yang cukup damai.
Situasi ini adalah langkah maju dari peran politik dan partisipasi pembangunan kalangan muda bangsa ini, dan ini harus dirawat secara sadar dan sungguh-sungguh. Untuk itu, selayaknyalah pemerintah memberikan akses, peluang dan ruang yang luas bagi pemuda untuk berperan aktif dalam pembangunan nasional beradasarkan kapasitasnya. Minimal pemerintah tanggap terhadap problem yang dihadapi pemuda, sehingga ada stimulasi untuk lebih kreatif dan inovatif demi terciptanya pemuda yang berkarakter.
Diskusi-diskusi kepemudaan akan menjadi menarik jika dilaksanakan secara simultan bersama dengan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Dalam pengertian bahwa diskusi-diskusi tersebut tidak hanya ditanggapi oleh Menteri Kepemudaan dan Olah Raga saja, karena pemuda juga memiliki kompetensi yang sangat luas, ada di bidang ekonomi, sosial kemasyarakatan, akademisi, politisi, pelaku usaha, dan lain sebagainya. Lebih dari itu, pemerintah harus berani melahirkan Indonesian Youth Summit yang merupakan puncak pertemuan pemuda untuk menemukan konsep-konsep pemuda dalam pembangunan, baik dalam bidang ekonomi, politik, ketahanan nasional, sosial kemasyarakatan, pendidikan, maupun dalam bidang kesehatan.
Idealisme pemuda serta jiwa integralisme pemuda akan terbangun dan terasah melalui kesempatan dan peluang yang diberikan Pemerintah. Tentu saja jiwa idealisme dan integralisme tersebut akan melahirkan pemuda yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Maka, pemerintah tidak perlu takut terhadap sikap kritis pemuda yang sedikit tajam itu, karena sikap kritis pemuda tersebut merupakan feed back dan asset bagi pembangunan nasional.
PENUTUP
Jika kesadaran dan idealisme terhadap perubahan menjadi komitmen bersama di kalangan pemuda, maka pergerakan pemuda insya Allah tidak melahirkan demonstrasi gelombang masa yang berujung anarki, atau aksi pro dan kontra hingga menimbulkan bentrokan massa. Sehingga tantangan yang dihadapi pada saat ini adalah bukan semata-mata persoalan eksternal pemuda, tetapi internal pemuda sendiri yang tidak konsisten dalam memperjuangkan reformasi.
Dalam konteks perwujudan pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good governance) keterlibatan gerakan pemuda menjadi sebuah keniscayaan, karena pemuda merupakan generasi masa depan yang mampu melihat kondisi bangsa disaat bangsa tidak mampu berbuat, dan melihat sesungguhnya bangsa ini mempunyai problem yang tidak sederhana. Karena pemuda memiliki sensitivitas yang tinggi, tentunya pemuda seharusnya mampu mengawal dan mengarahkan perubahan bangsa kearah yang lebih bermartabat. Wallahu a’lam bi shawab... (penulis adalah H Fadly Nurzal, S.Ag, Ketua DPW PPP Sumut dan Aktivifis 98.